Happy Reading!ARA’S
• • •
Ara menjalani hari-harinya dengan wajah suram. Wajah yang biasanya berbinar layaknya lampu sorot pasar malam itu, kini meredup seperti langit tanpa bulan dan bintang. Gelap, kosong, dan hampa.
Ara berjalan dikoridor sekolah dengan sangat tidak bersemangat dan wajah malas-malasan, tentu saja menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang sudah terbiasa melihat Ara yang bersinar terang. Dipikiran mereka, adalah karena sudah terhitung tiga minggu terakhir ini pangeran kuda putihnya menghilang. Benar-benar hilang seperti bumi sempat terbelah dua lalu tubuhnya masuk kedalam. Tak meninggalkan setitik pun jejak.
Ara kembali menghela napas pelan, ia sangat tidak bersemangat tanpa lelaki itu. Mulutnya selama ini hanyalah palsu, dan ia baru menyesalinya sekarang saat Azam telah menghilang. Meninggalkannya. Mengingat itu lagi, membuat Ara ingin cepat-cepat sampai kerumah dan meraung dikamar dengan sangat lantang. Tak memedulikan lagi ayah, bunda dan Nathan yang berusaha membujuknya agar berhenti menangis setiap harinya.
“Hei, ngapain pulang sendirian?”
Ara mendongak, tampak Breel yang sudah jalan disebelahnya tanpa mau menatapnya.
“Ara juga nggak tau.” Balas Ara pelan. Benar juga, ia pun tak tahu mengapa dirinya berjalan sendirian.
Breel hanya mengangguk sebagai jawaban, tetap berjalan disebelah Ara dengan tangan disimpan dikedua saku hoodie. Kini sunyi adalah keadaan disetiap mereka bertemu. Karena satu, suara cempreng nan bising itu tak lagi ada.
Ara melingkupi lehernya dengan jemari, menghalau sinar matahari langsung yang seperti menyengat kulitnya. Ia meringis, kini lengannya merasakan pedih. Matahari siang ini tak main-main dengan pancarannya. Namun, tubuh Ara tiba-tiba merasakan sejuk. Tubuhnya terbungkus oleh pakaian besar dengan jemari yang setia melingkupi leher. Ia mendongak, kesusahan menatap Breel yang kini masih tetap santai berjalan disebelahnya, kupluk hoodie lelaki itu menutupi sebagian wajahnya.
Ara menatap kedepan lagi, “Terima kasih, Breel. Besok Ara kembaliin dalam keadaan bersih dan wangi.” Sepertinya ia harus menambah satu lagi baju lelaki yang padahal satunya masih ada terlipat rapi didalam lemari. Milik Azam. Satu-satunya kemeja putih dan rapi yang berada diatas tumpukan baju didalam lemari. Tentu saja, cara Ara mengambil baju masih terbilang seperti anak-anak.
Hingga mereka sampai didepan parkiran, Breel langsung berbelok kearah motornya yang membuat Ara melongo.
“Breel!” Panggil Ara cepat. Lelaki itu berhenti, menolehkan kepalanya kesamping namun tak berbalik. “Terima kasih, Breel!” Teriak Ara kesal karena tadi Breel hanya diam.
“Iya, sama-sama.” Baru saja ia ingin melanjutkan langkah, Ara kembali menginterupsi langkahnya.
“Breel kenapa nggak mau liat Ara?” Tanya Ara sedih. Tak hanya Azam yang menghindarinya, Breel pun sama. Apa mereka muak dengan kelakuannya?
“Karena sekali gue natap lo, sangat susah bagi gue untuk berhenti.” Duh, bang Breel tak disangka, ya. “Dan nggak seperti cowok lain yang nawarin pulang, gue nggak bakal pernah.” Ujarnya santai yang membuat Ara menatap kepalanya tak percaya. “Karena gue nggak akan segan-segan gunakan satu kesempatan emas. Bawa lo pergi.” Lalu Breel melangkah mantap meninggalkan Ara.
Ara mengerjap. Tak mengerti apa maksud Breel berkata seperti itu. Ia berjalan saja kepinggir jalan, menunggu pak Raden yang tumben sekali belum menjemputnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA' S[completed!]
Romance"Kamu itu, udah seperti pompa bagi kerja jantung aku. Kalau kamu menjauh, otomatis jantung aku melemah. Artinya apa?" Gadis polos itu menggeleng lugu. "Kamu bunuh aku secara perlahan. Kamu tega?" Secepat kilat gadis itu menggeleng keras, "Ara nggak...