Ara menaruh tas mini itu diatas kursinya, pagi yang sedikit mendung tak menutup binaran dan kecerahan wajah gadis cantik ini. Bibirnya yang selalu terulas senyuman, semakin mengesankan bagi kaum adam yang melihat. Wajar saja, kini ia menduduki gelar The Most Wanted Girl disekolahnya karna paras yang begitu rupawan.
Ara menatap keluar jendela, namun membuang pandangannya lagi karena geng siswa kelas dua belas melewati ruang kelasnya. Seperti tau tempat duduknya dimana, para lelaki itu malah berhenti disana, dan sibuk menyiulinya. Gadis itu hanya menunduk, membuka sleting tasnya untuk mengambil susu kotak yang sudah dimasukkan Azam kedalam tas miliknya, seperti biasa.
“Anjeng! Gue mau lewat, minggir!”
Ara tersentak saat mendengar suara itu, suara Dhiya. Ara benar kagum pada sosok itu, dia begitu pemberani dan tomboy. Tidak takut pada siapapun termasuk para senior yang masih betah nongkrong diluar itu. Apalah dengan dirinya yang selalu dipenuhi dengan rasa ketakutan berskala tinggi. Menurutnya, dia adalah perempuan terlemah yang kebetulan hidup dimuka bumi. Seolah dunia selalu berlaku kejam padanya jika laki laki tangguh dan selalu melindungi dirinya tidak berada disisinya
“Rese bener tuh buaya-buaya nyasar, minta digerek banget.” Ocehnya belum menoleh kearah Ara karna sibuk memberi tatapan tidak menyenangkan pada para Senior itu.
Sementara Ara mendongak untuk menatap Dhiya yang sedang berdiri disebelah kursinya dengan tatapan tajam tak lepas dari rombongan itu yang kini sedang tertawa terbahak bahak.
“Eh, udah nongki aja nih jam segini, Ra?” Dhiya menyapa Ara sembari mendudukkan bokongnya dikursinya, agak heran dengan gadis itu yang sudah duduk dikursinya. Biasanya, Ara tiba disekolah saat sedetik lagi bell masuk.
Ara menanggapi dengan senyuman lebar sembari mengangguk cepat,“Yaya! Yaya tau nggak?”Ara memutar tubuhnya, menghadap kearah Dhiya sepenuhnya. Melupakan pikirannya yang sempat menganggu organ bagian dalamnya.
“Apaan?” Tanyanya seperti biasa, meladeni semua ocehan Ara setiap paginya, tak pernah merasa bosan. Menurutnya, melihat wajah gembira Ara tiap hari, adalah suatu kebahagiaan juga baginya. Gadis polos itu seperti sedang menyalurkan kesenangan bathin kedirinya, memberi sebuah kekuatan, untuknya.
“Besok Ara mau pergi ke AS! yaey!” Beritahunya girang, rambutnya yang tergerai tertiup angin pagi dari luar, sengaja membuka jendela disebelahnya itu lebar - lebar memberi akses untuk angin sejuk masuk.
Tentu saja Dhiya terseyum girang, ikut merasakan kebahagiaan Ara, “Oh ya? Enak dong. Kapan perginya?”
“Besok pagi, Ya! Ara mau ketemu Ayah sama Bunda! Dan Yaya tau? Ara juga mau ke Disney Land! Nanti disana ada banyak wahana permainan, terus nanti Ara masuk goa yang dingin...” Ara tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, matanya tertarik keatas, menerawang jauh seberapa senangnya dia dinegeri yang dipenuhi teknologi canggih itu.
Sementara Dhiya hanya menanggapi dengan senyuman. Senyum yang begitu ayu seperti menyimpan banyak derita didalamnya, perlahan suara ocehan Ara tersamar didalam pendengarannya.
Jujur, dia iri melihat Ara yang selalu tampak bahagia setiap harinya, seperti setiap detik yang dilewati gadis itu penuh dengan canda tawa bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang.
“Iya kan, Ya? Yaya setuju nggak?”
Dhiya kembali kealam sadarnya, dan gelagapan sendiri karna mendengar pertanyaan Ara. “Ah... I-iya. Iya iya setuju.” Ujarnya berusaha setenang mungkin, tak mau Ara kecil hati karna merasa ocehannya diabaikan.
“Yaey! Okey!”
Brak!
Dua gadis beda kepribadian itu terlonjak kaget, meja mereka seperti dihantam benda keras dengan tanaga yang cukup kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA' S[completed!]
Romantizm"Kamu itu, udah seperti pompa bagi kerja jantung aku. Kalau kamu menjauh, otomatis jantung aku melemah. Artinya apa?" Gadis polos itu menggeleng lugu. "Kamu bunuh aku secara perlahan. Kamu tega?" Secepat kilat gadis itu menggeleng keras, "Ara nggak...