•Lebih Sensitif•

11.8K 763 63
                                    

Happy Reading!

ARA’S

• • •

Azam tak bersuara sama seperti yang dilakukan Ara sejak tadi. Gadis itu hanya diam dan menunduk. Hanya sekali saja bertanya soal plester yang ada dimulutnya dan ingin memakainya juga, namun dia bilang itu dari teman-teman laki-lakinya yang hanya boleh digunakan oleh kaum lelaki saja.

Azam memasukkan motornya kedalam garasi rumah yang sudah dibukakan oleh Pak Raden, memarkirkannya dengan rapi dan turun seraya melepas helmnya. Ia memandang Ara yang kini tengah menatapnya dibalik helm berkaca cembung itu, segera melepas helm itu dan merapikan rambut Ara yang sangat berantakan. Ia mengulurkan tangan, namun Ara menggeleng pelan.

“Mau turun sendiri?”

“Nggak!” Balas Ara berteriak, menggema diruangan besar yang kedap suara dan angin itu.

“Terus?” Tanya Azam dengan alis menaut. Ia tersenyum tipis karena mendengar kembali teriakan Ara.

Ara mengerang. Ia langsung menarik tangan Azam agar mendekat dan langsung memeluk lelaki itu dengan kepala yang sudah tertaruh dipundak lebar itu.

“Jadi, mau kayak gini?”

Ara kembali menggeleng, “Mau gendong.” Ucapnya pelan.

Azam menggeleng menolak, berusaha melepas tangan Ara namun gadis itu malah semakin mengeratkan pelukannya sambil merengek. “Katanya mau dewasa, kemarin-kemarin nggak ada tuh, minta digendong lagi.” Azam memundurkan leher jenjangnya, mengintip bagaimana ekspresi Ara kini. Gadis itu hanya memejamkan mata sambil menghirup napas dalam-dalam. Ia terkekeh, melingkarkan tangannya dipinggang Ara dan menggendong gadis itu memasuki rumah.

“Loh, kok digendong lagi? Kemarin-kemarin aja udah jalan sendiri?” Tanya Tommy yang tengah duduk disofa dengan laptop dipangkuannya.

Azam berhenti sejenak, “Tau, nih, om. Lagi cape, mungkin.”

Tommy menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Yaudah, kalian istirahat, gih.”

Azam mengangguk, segera ia melangkah menuju kamar Ara dan menduduki gadis itu diatas kasur.

Ara masih diam seraya mendongak karena Azam berdiri didepannya, membalas tatapan lelaki itu dengan pancaran mata jernihnya.

“Bersihin badan dulu, ganti baju, baru susul Ajim kekamar. Oke?”

Ara mengangguk pelan, namun tatapannya belum lepas dari wajah Azam yang kini mengerutkan kening bingung. Dadanya begitu sesak dengan mata yang mulai memanas.

“Kenapa? Ada yang mau ditanya?” Tanya Azam lembut. Gadis itu hanya menggeleng, namun tatapannya belum juga teralih. Azam menaikkan sebelah alisnya, menurunkan tubuhnya dengan tangan yang tertumpu dipermukaan kasur seraya mensejajarkan wajahnya didepan wajah Ara. Alis yang tadi terangkat, kini perlahan menurun. Tatapannya berubah intens setelah melihat ada sedikit perairan yang tergenang dipelupuk mata Ara. “Kenapa, Ra? Ngomong.” Suruh Azam lembut dengan senyumnya.

Ara kembali menggeleng pelan dengan dadanya yang semakin terasa perih. Perlahan namun pasti, air mata yang menggenang tadi berjatuhan. “A-ara... Nggak ap–” Ara memasukkan kedua bibirnya kedalam, menahan susah payah raungannya yang ingin keluar.

Azam yang melihat itu langsung menduduki diri kemudian memeluk Ara agar gadis itu tenang. “Kenapa lagi, hem? Pengen apa?” Tanya Azam lembut. Gadis itu seperti inginkan sesuatu namun tak mau mengatakannya.

Ara kembali menggeleng, membalas pelukan Azam dipinggang laki-laki itu dengan suara tangisan tertahannya. “Peluk Ara terus, Ajim...” Pintanya serak menahan sesak.

ARA' S[completed!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang