•Donor Hati?•

9.9K 673 50
                                    


Yang pernah komentar, suratnya berisi vonis soal anak, fix itu pikirannya udah kejauhan bangeettt 😥😂

Dah lah, yok lanjut baca.

__________

Bagaimana perasaan kalian, saat tahu seseorang yang sangat kita butuhkan sekali hidup di dunia, malah mengorbankan kehidupannya demi orang lain?

Sakit, bukan?

Kecewa? Pasti. Marah? Jelas saja.

Namun, harus marah pada siapa? Siapa pihak yang bisa disalahkan? Haruskah lagi-lagi dia yang menjadi korbannya?

Ara rasa, jawabannya iya. Karena hidupnya, tak pernah lepas dari hal menyedihkan.

Dengan keadaan kusut dan terduduk lemas dibawah dengan menyender disisi ranjang, lagi dan lagi dia menangis. Terisak penuh sesak. Tak ada teman, tak ada orang tua, tak ada siapapun.

Cukup dia, dan kesedihan.

•  •  •

Setelah mendengar penjelasan Nathan, tentu saja membuat hati Azam berkecamuk. Benar, kah, yang dikatakan Nathan itu?

Surat USG yang menyatakan bahwa sebelas tahun yang lalu, atas nama Kiara Axelya telah mendonorkan hati dan satu ginjalnya untuk satu orang yang membutuhkan. Ternama, Azam Cloved.

Mengejutkan memang. Dibalik wajah tenangnya, siapa sangka dia sedang menahan frustasi dan kekalutan yang teramat sangat? Perasaannya saja seperti itu, bagaimana dengan perasaan Ara?

“Coba lo yang ngomong.” Suruh Nathan bermaksud menyemangkatkan Azam yang lunglai.

Azam mengedikkan bahu, “Dia pasti benci dengan gue.” Ujarnya menunduk sambil memandang kosong.

“Belom dicoba.” Nathan mencibir.

Azam menghela napas, berdiri dari sofa dan segera berjalan santai diundakan tangga. Ketika sampai didepan pintu ber-cat pink itu, dia menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskan secara perlahan. Membukanya dengan pelan-pelan seraya bergerak memasukinya, menemukan kepala Ara yang bergetar membelakanginya.

Ara tersentak karena satu cahaya menerobos masuk, dia mendongak, “Bang Athan! Udah dibilang Ara nggak mau diganggu dulu!” Teriaknya terdengar menahan kesal, suara sedikit berdengung karena sumbatan dihidung akibat menangis. “Atau bi Inem? Ara mau sendiri dulu, bi Inem.” Suara Ara memelan.

Azam berjalan dalam ragu, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan perih. “Ini aku, Ra.”

Ara terdiam, dengan cepat kembali menyurukkan wajahnya dibalik lutut yang sedang ia peluk. Dia masih belum bisa menerima semua ini, dia masih bingung bagaimana harus keluar dari situasi menyesakkan ini. Dia masih belum mengerti dengan dunia  dewasa ini.

Azam berjongkok didepan Ara seraya sedikit mengusap kepala gadis itu, namun segera ditepis dengan gelengan keras yang artinya menolak untuk dia dekati lebih lanjut.

“Ajim pergi. Ara mau sendiri, jangan ganggu Ara.” Ujar Ara bergetar, lalu terisak penuh sesak.

Azam menggeleng dengan sorot meredup, “Ra, aku—”

“Ajim dengar Ara, nggak? Ara nggak mau dekat-dekat sama pembunuh!”

Azam yang semula menunduk, segera mendongak, menatap nanar kepala Ara yang bergetar. Dia mengangguk dengan senyum yang berusaha diterbitkan. Ternyata jauh lebih menyakitkan dari prediksi awalnya.

Ara mengerjap dibalik lututnya, ketika mendengar suara yang memberat itu. Suara yang mungkin untuk terakhir kali dia dengar setelah nanti hati dan keadaannya menyembuh. Kemudian, kegelapan kembali mengisi ruang sunyinya dan meraung lagi.

“Oke.”

•  •  •

Azam berjalan menunduk dilorong sunyi apartmen itu, memandang kosong kearah sepatu yang terus bergerak seirama itu.

Dia cuma butuh waktu. Om percaya, Ara nggak bisa tanpa kamu. Kalian udah kayak perangko. Saling bergantung.”

Azam berdecih sinis. Bisakah omongan Tommy yang sudah berjalan beberapa hari itu dipercaya? Bisakah membuat hatinya merasa lega detik ini juga? Membebaskan dirinya dari rasa rindu wajah lugu itu? Barang sedikit?

Dia menghela napas, memasuki apartemen-nya dengan langkah gontai untuk menuju meja bar. Seperti biasa. Mengambil gelas kecil disana untuk dituangkan air dari botol besar yang berjejer rapi dipojok meja itu.

Dia tidak bisa menghentikan kebiasaan minumnya padahal sudah tahu satu fakta dari kertas yang berasal dari rumah sakit itu. Seharusnya, dirinya harus tahu diri dan menjaga kesehatan, kan? Bukannya malah semakin minum beralkohol yang bisa membahayakan ginjal dan hatinya!

Sekali lagi, dia hanya ingin menghilangkan bayang-bayang wajah yang dirindukannya itu. Sebegitu bergantungnya kah dia dengan gadis mungil itu? Gadis yang beberapa hari terakhir ini masih menghindarinya, baik disekolah maupun dirumah.

Tak sadar, Azam membentur kepala dilengannya yang tertaruh diatas meja bar seraya mengerang. Memejamkan mata erat menahan gemas namun juga emosi saat kembali terbayang wajah imut itu.

“Cause of you, i’m crazy...”

•  •  •

Pendek, ya? Emang, hehehe. Nggak bisa bikin mereka sedih lebih lama lagi soalnya 😥😥😥


Part berikut semua masa lalu terungkap.

So, tinggalkan komentar yang antusias, yaaa.

Terima Kasih ❤❤❤


ARA' S[completed!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang