•Belajar Dewasa•

11.9K 731 32
                                    

Happy Reading

ARA’S

• • •

“Jadi, hal pertama yang harus lo lakukan adalah...” Dhiya menghirup nafasnya dalam-dalam, “Mulai belajar kalau lo bisa tanpa kak Azam.” Ucapnya dengan senyum. Mereka berkumpul didalam kelas berempat saja dan memanfaatkan setiap waktu istirahat untuk menuntun Ara menuju dewasanya.

“Ho'oh! Bagian terpenting itu, mah. Lo nggak akan tumbuh dewasa kalau lo masih terus bermanja sama kak Azam.” Sambung Nita setuju.

“Nah, sebaliknya kak Ryan sebagai penghantar lo menuju dewasa.” Ucap Anna yang membuat ketiganya merasa bingung, terlebih Ara.

“Kok kak Rai?” Tanya Ara.

Anna mengangguk yakin, “Iya. Dengan adanya dia, lo bisa mengambil sebuah pelajaran dan pengajaran. Tanpa dia, lo nggak akan bisa mengenal seorang cowok lebih jauh dan semakin membawa lo dengan banyak pengalaman.” Ujar Anna.

“Loh, loh, kok pinter, sih?!” Heboh Dhiya langsung yang mendapat dongakan keangkuhan dari Anna.

Ara tertawa kecil. Mulai sekarang, dia harus mendengarkan setiap nasihat orang yang terlihat sangat peduli padanya. Apalagi Nathan, yang saat itu hanya dia abaikan saja, namun untung dia masih ingat semua kalimat itu.

“Lanjut-lanjut!” Nita semangat.

“Nomer dua!” Dhiya mengeluarkan jari kelingking dan jari manisnya keatas sementara yang lain terkepal. “Lo harus—”

“Bentar, itu kayak lambang KB dipuskesmas, bukan? Yang dua anak cukup itu.” Sela Anna tiba-tiba, ia mengaduh kesakitan saat Nita menoyor kepalanya keras dan tatapan flat dari Dhiya. Sementara Ara lagi-lagi tertawa kecil.

“Salah, bego! Yang benar itu, begini!” Nita mengacungkan jemarinya membenarkan dengan emosinya.

Anna mengernyit tak senang, “Lah, terserah gue, dong. Kan, nggak semua bayi terlahir normal. Ada juga yang prematur sehingga badannya lebih kecil!” Sanggah Anna.

Nita mengibaskan tangannya didepan wajah Anna seraya berbalik membelakangi gadis itu, “Terserah lo, terserah! Nggak peduli gue, mah.” Ucapnya dan segera menatap Dhiya, “Lanjut, Ya.” Ujarnya datar.

Dhiya mengangguk dan langsung menatap Ara. “Yang kedua, lo harus cerdas dan tanggap dalam melihat berbagai macam ekspresi manusia, jangan pintar dalam belajar doang!” Jelasnya, ia tersenyum tipis saat Ara mengernyit tak mengerti.

“Biar gue wakilin!” Anna menunjuk tangannya keatas.

“Jangan lagi, dah. Nggak usah.” Sanggah Nita bercanda yang dibalas dengusan oleh Anna.

“Eh, tapi, nggak bisa juga kalau kita jelasin soal ekspresi wajah hanya dengan ngomong doang ke Ara, Ya. Dia butuh bukti secara langsung!” Ujar Nita yang diangguki Dhiya dan Anna.

“Gimana, kalau kita nonton kebioskop dan setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh pemeran itu bakal gue jelasin? Sekaligus, pas dijalan nanti ada yang pengen lo tanya, jadi gue bisa langsung jawab.” Usul Dhiya.

“BOLEH-BOLEH!” Teriak Nita dan Anna serentak dengan binaran bahagianya. “Gimana, Ra?” Tanya Nita karena melihat Ara tampak berpikir.

“Insya allah, ya, cabat-cabat Ara. Semoga Ara dibolehin sama... Ajim.” Ucapnya pelan saat mengucapkan nama Azam.

Ketiganya mengangguk setuju, mereka mengerti bagaimana protectiv nya Azam terhadap Ara.

“Ajim juga nggak boleh tau tentang ini, ya. Rahasia kita aja.” Ujar Ara lagi, nadanya seperti sebuah pernyataan biasa yang sebenarnya sangat melukai hatinya.

ARA' S[completed!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang