"Emang, Ajim perginya nanti sore, ya?"Azam berdehem pelan untuk mengiyakan, sementara fokusnya masih pada kertas didepannya dengan tangannya yang menari-nari indah diatasnya dan tubuh yang menyandar dikepala kasur dengan santai. Menganggurkan Ara yang sedari tadi berguling kesana kemari disekitarnya.
Ara menggulingkan badannya lebih dekat ke Azam, menumpukan dagunya diatas kedua tangannya. "Berapa lama, Ajim?" Tanyanya menatap Azam dengan fokus yang belum teralihkan.
"Seminggu." Jawabnya singkat, tak menyadari bagaimana ekspresi dan nada suara Ara yang mulai sendu.
"Lama, ya." Dia mengedipkan matanya berkali-kali dan menarik bola matanya keatas agar air matanya tak keluar. Terlebih ia kembali mendapat jawaban hanya deheman dari Azam, "Ara... Ganggu, ya?"
Azam mengangguk jujur.
Namun sepersekian detik setelahnya, dia mulai sadar. Ia mengalihkan bola matanya dari kertas yang ada didepannya, menatap Ara yang kini tengah menunduk diantara kedua tangannya yang terlipat. Dia mengerti, bagaimana kesedihan Ara saat ia selalu berpergian keluar, baik itu berhari atau hanya latihan basket pulang sore.
"Ra?" Panggilnya pada Ara, namun hanya mendapat gelengan pelan dari gadis itu membuatnya terkekeh geli. Dia mengambil tubuh Ara, lalu mendudukkannya dipangkuannya dengan kepala gadis itu yang masih menunduk dan wajahnya yang tertupi rambut. "Nanti Ajim videocall terus kok." Ujarnya lembut, mengaitkan rambut Ara dikedua daun telinga lalu mengangkat dagu gadis itu hingga tatapan mereka bertemu.
Ara semakin meraung, lalu teriak kencang saat Azam malah tertawa sambil menarik kedua pipinya gemas. "Terus, Ara bobok sama siapa?" Tanyanya sedih.
"Bobok sama Ayah dan Bunda. Nanti malam mereka pulang." Ujar Azam seraya mengusap surai panjang Ara dan menatap gadis itu teduh.
Ara mengangguk pelan, masih dengan wajah sendunya. "Ara telpon Ajim terus." Ujarnya dengan bibir maju.
"Iya." Katanya sambil mengangguk.
"Ajim harus angkat."
"Iya."
"Abis itu langsung pulang."
"Iya."
Ara semakin memajukan bibirnya kesal. "Iya apa?!" Tanyanya tak santai.
Azam menyatukan dahi dan hidung mereka seraya terkekeh. Saling menatap dalam diam dan dekat.
"Iya, sayang."
• • •
Sesuai permintaan gadis itu, kini Dhiya, Anna, serta Nita sudah berada didepan pintu rumah Ara.
"Ara-nya ada, Bu?" Tanya Dhiya sopan pada Bi Inem.
Bi Inem tampak mengeluarkan ekspresi tak enakan, "Ada diatas, ndok. Tapi nampaknyo lagi nangis karna ditinggal den Azam. Bibi aja diusirnya." Ujar Bi Inem dengan jawa kentalnya.
"Nggak apa-apa, Bi, emang dia yang panggil kami kesini." Kini Nita ikut bersuara.
Bi Inem mengangguk, menyingkirkan tubuhnya agar ketiga gadis itu bisa masuk.
"Oh iya, dia lagi dikamar pintu hitam itu, yo." Ujar Bi Inem, yang dianggukkan oleh mereka bersama.
'Tok Tok Tok'
"Ra? Bukain pintunya dong." Ujar Dhiya sembari mengetok.
'Ceklek'
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA' S[completed!]
Romance"Kamu itu, udah seperti pompa bagi kerja jantung aku. Kalau kamu menjauh, otomatis jantung aku melemah. Artinya apa?" Gadis polos itu menggeleng lugu. "Kamu bunuh aku secara perlahan. Kamu tega?" Secepat kilat gadis itu menggeleng keras, "Ara nggak...