Nepatin janji, niiihhh.Happy Reading!
Ati-ati, banyak ranjaunya. Suer, dah!
_________________________________
Ara masih menangis terisak, menyurukkan kepalanya dibalik kedua telapak tangan dengan duduk berhadapan berlainan sofa didepan Azam.
Banyaknya botol dan aroma tak menyedapkan didalam ruangan ber-ac ini membuatnya tidak nyaman hingga menyalurkannya lewat tangisan agar Azam mengerti.
Namun nyatanya lelaki itu hanya diam, memandangnya datar dengan kedua tangan terlipat didepan perut yang membuatnya benar-benar ingin mengeluarkan teriakan emosi. Dia mencoba mengintip disela jari dengan sedikit mendongak, ingin melihat bagaimana ekspresi Azam kini.
Tidak ada Azam lagi disana, lelaki itu menghilang ditempat. Ara semakin meraung, merasa Azam benar-benar marah dan tidak peduli lagi padanya. Dia harus menelepon Ryan!
Saat dia menekan layar agar terhubung jaringannya dengan Ryan, matanya menangkap Azam yang keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang jauh lebih fresh. Celana abu-abu treining panjang dengan kaos oblong hitam membuat lelaki itu benar-benar tampak cool, jangan lupakan rambut yang masih lepek khas seseorang sehabis mandi membuat Azam benar-benar tampak semakin tampan.
Bentar, Ara bilang Azam tampan? Oh, sudah mengerti, toh?
Tatapan mereka bertemu sejenak, namun Ara dengan cepat menunduk untuk kembali menatap layar handphone-nya setelah mengerjap pelan, lalu menekan layar untuk memutuskan sambungan telepon dari Ryan yang sudah terdengar suaranya.
Azam berjalan kearah nakas untuk mengambil botol tinggi berwarna kuning disana, membawanya menuju Ara lalu disemprotkan kesuluruh penjuru ruangan. Botol-botol pun sudah dia singkirkan dari ruangan dan merendam gelas kecil yang dia gunakan tadi agar tidak meninggalkan bau. Dia mengerti, Ara tidak pernah suka dengan bau alkohol itu.
Satu yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Bunyi ketikan dari hp Ara yang terdengar asik sekali. Dia memicing, chat-an dengan siapa gadis itu?
Azam segera menaruh ketempat semula botol Stella tadi, berjalan kearah Ara yang sudah mendongak menatapnya terkejut, lalu tersentak saat dia angkat tiba-tiba untuk berdiri diatas sofa hingga tinggi mereka sejajar.
Ara mengerjap kaget, bunyi pesan masuk dari handphone-nya membuat Azam segera merampas ponsel dari tangannya, dia melotot khawatir. Apalagi, Azam membaca room chat Ryan dengan alis menyatu. Ara mendadak gugup juga ketakutan.
Azam mengembalikan handphone itu ketangan Ara, menatap gadis yang pasti sedang berkecamuk itu masih dengan wajah datar.
Ara mengerucut sebal, namun seakan baru sadar keadaan membuatnya dengan cepat memasukkan kedua bibirnya mengatup kedalam. Dia bergerak kesamping untuk turun karena tatapan Azam yang datar namun penuh aura intimidasi, namun lelaki itu menahan pinggangnya agar tidak menjauh. ‘Ajim ini mau apa, sih?! Huweee...’ Rengeknya dalam hati.
Ara menunduk, mengumpulkan suaranya agar dapat menyampaikan pada Azam apa yang sedang dia rasakan kini, “Ajim... Seharusnya Ajim—” Ucapannya terpotong dengan dering ponsel yang memecahkan sunyi diantara mereka, dia melihat kearah layar, nama Ryan terpampang disana yang membuatnya meringis pelan.
Ara mendongak, tidak ada reaksi apapun dari Azam, masih ber-ekspresi santai. Lelaki itu tidak melarang, kan? Aman-aman saja, kan? Jadi, dia menggeser simbol hijau dilayar itu kesamping, lalu menempelkan benda pipih itu didepan telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA' S[completed!]
Romance"Kamu itu, udah seperti pompa bagi kerja jantung aku. Kalau kamu menjauh, otomatis jantung aku melemah. Artinya apa?" Gadis polos itu menggeleng lugu. "Kamu bunuh aku secara perlahan. Kamu tega?" Secepat kilat gadis itu menggeleng keras, "Ara nggak...