10.45 am.Mereka sudah berpakaian rapi, tentu saja sepasang dari mereka mengenakan pakaian kantor yang resmi, sementara yang lain memakai outfit santai untuk menemani mereka seharian untuk berjalan-jalan.
"Jadi, kalian mau diantar atau bawa mobil sendiri?"
"Diantar aja, om."
"Bawa mobil sendiri, Ayah!"
Mereka saling pandang, tentu saja tatapan gadis cantik nan imut itu yang paling tajam, tatapan yang tak lepas dari matanya sedari tadi untuk menatap Azam. Sementara lelaki paruhbaya yang memberi tawaran sebelumnya terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Tiada hari tanpa drama yang terjadi antara dua anaknya itu.
Ara menghentakkan kakinya yang terbalut heels pendek berwarna hitam polos dengan kesal, "Ajim, masa kita mau diantar? Nanti pulangnya gimana? Teruskan, selain main kesana, Ara juga mau jalan-jalan. Ih... Ajim! Pokoknya Ara mau bawa mobil sendiri! Kasian ayah sama bunda Jessy telat ketemu..." Celotehannya terhenti saat Azam sudah berada didepannya sambil menyodorkan sebuah kunci, "Kenapa?" Tanyanya menatap lelaki itu dan kunci yang disodorkannya bergantian.
"Mau bawa mobil sendiri kan?" Tanya Azam menaikkan sebelah alisnya, "Ini." Sodornya lebih dekat lagi.
Ara mengepalkan kedua jemari mungilnya sambil berteriak emosi, lagi. Dan dengan secepat kilat meninju apapun yang dapat ia tinju pada Azam dengan sangat brutal. "NYEBELIN! NGESELIN! SANA!!" Ara berusaha melepas kedua pergelangan tangannya yang terperangkap oleh jemari besar Azam dengan tubuhnya yang meloncat-loncat tak terima.
Pasalnya, sedari subuh tadi, Azam selalu melarang apa yang ingin dilakukannya dan tetap menuruti apa yang diperintahkan oleh lelaki itu. Tentu saja, itu semua membuat mood gadis itu turun dan tak kunjung membaik sampai kini.
Sementara Jessy dan Tommy yang menyaksikan itu hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya maklum.
"Ara nggak jadi pergi!" Dia masih memberontak, "Sana!!" Usirnya lagi.
Azam terkekeh puas, dia merangkul dengan mudahnya pundak Ara yang masih memberontak ganas dengan teriakan cempreng gadis itu, "Kami berangkat dulu, om, tante." Pamit Azam menoleh kearah sepasang suami istri itu singkat.
"Iya, hati-hati." Ujar Tommy. "Ara, yang bener perilakunya. Jangan nyusahin Ajim." Nasihat Tommy melihat anak gadisnya yang masih berontak tak terima dalam rangkulan Azam.
Lalu mereka benar-benar keluar dari kamar hotel, menyusuri sepi dan temaramnya cahaya lampu dikoridor yang dipenuhi pintu-pintu kamar atau terkadang pintu lift yang berada diujung sisi dinding. Tentu saja masih dengan Ara yang heboh untuk menahan tubuhnya yang ditarik paksa oleh Azam, tak mengeluarkan suara apalagi teriakan, hanya erangan tertahan dan wajah memerahnya menggambarkan emosi yang tampaknya sejak tadi terpendam. Hingga tak jarang, orang-orang berwajah bule kental menatap mereka lama.
Azam berhenti didepan pintu lift, membuat berontakan Ara semakin terasa. Saat pintu itu terbuka, dia kembali menarik Ara dengan tenaga gadis itu yang semakin ekstra. Tak mau pintu lift kembali menyatukan diri, dengan gerakan kilat dia mengangkat tubuh Ara hingga terdengar gadis itu yang langsung memekik tak terima.
"Iikhh.... Nggak mau! Turunin, Ara!" Teriaknya tanpa mau tahu bertahan diri agar tak terjatuh kebawah, malah semakin menendang-nendangkan kakinya diudara dengan kedua tangannya yang mengepal meninju keras dada lelaki itu. "Ajim!" Teriaknya lagi, namun tak dihiraukan Azam yang semakin mendongakkan kepala, mengacuhkannya yang sedang dikabuti emosi.
Ara tak tahan, dia mengambil wajah Azam dan menghadapkannya kebawah agar menatapi dirinya dengan gerakan kasar, "Liat Ara, nggak!" Perintah gadis itu dengan pelototan mata. Tidak tidak, Ara tidak akan termakan lagi oleh tatapan dan senyuman itu untuk saat ini. Iya, hanya untuk saat ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA' S[completed!]
Romance"Kamu itu, udah seperti pompa bagi kerja jantung aku. Kalau kamu menjauh, otomatis jantung aku melemah. Artinya apa?" Gadis polos itu menggeleng lugu. "Kamu bunuh aku secara perlahan. Kamu tega?" Secepat kilat gadis itu menggeleng keras, "Ara nggak...