Ara, gadis itu tampak berbeda hari ini. Senyum indah yang biasanya selalu dia pamerkan pada dunia, kini harus tersuruk dibalik wajah cemberutnya. Merindukan sosok yang selalu berhasil membuatnya tertawa.
Ketika bell istirahat berbunyi, Ara langsung mendaratkan kepala diatas lipatan tangannya diatas meja. Mengabaikan ketiga temannya yang sudah berdiri mengelilinginya.
Dhiya mengusap kepala Ara, “Ra, makan, yuk?” Ajak Dhiya, tentu saja dia mendapat jawaban gelengan dari Ara, “Kalau gitu kami makan, ya?” Ujarnya lagi dan dibalas anggukan oleh gadis itu, “Lo jangan nangis lagi.” Dhiya takut-takut Ara kembali menangis keras seperti tadi pagi.
“Kami pergi dulu, ya, Ra? Lo nggak apa-apa, kan?” Anna ikut bersuara, dan hanya dibalas anggukan lalu gelengan dari Ara.
Sementara Nita yang sedari tadi sudah gemas sendiri kini menggeram, “Yaallah ini bocah, ya. Gemes ju–” Ucapan Nita terpotong karena bungkaman kuat yang berasal dari Dhiya. Menatap gadis itu tajam, lalu memutar bola matanya malas saat Dhiya mengodenya agar menjaga ucapan.
Dhiya kembali mengusap kepala Ara, “Yaudah, lo yang baek-baek aja disini. Kami pergi dulu.” Dhiya langsung berdiri dari duduknya, diikuti yang lain.
“Dah, Ara yang sedang sendu yang merindu karena ditinggal pangerannya.” Ujar Anna menggoda, membuat teman-temannya yang lain terkekeh.
Ara hanya diam. Dia terasa begitu sepi dan kosong saat Azam tak ada disisinya, membuatnya bingung sendiri. Mengapa semua itu terjadi? Azam akan pergi dan dalam waktu yang cukup lama, tentu saja bagi Ara satu minggu berjalan begitu lambat tanpa cowok itu.
Tak terasa, Ara kembali ingin menangis meraung. Namun tiba-tiba nasihat Azam yang selalu diucapkan lelaki itu kembali terlintas dimemorinya.
“Kalau nggak ada aku, kamu nggak boleh cengeng apalagi sampai diliat orang lain.”
“Kenapa, Ajim?”
“Karena, mereka bakal menganggap kamu lemah dan tentu saja mereka bahagia. Jadi, cengengnya sama Ajim aja.”
Ara terdiam. Cepat-cepat mengusap air matanya masih dalam posisi wajah yang tersuruk.
Tiba-tiba kepalanya kembali merasakan usapan lembut seseorang. “Yaya, Ara nggak apa-apa, kok. Kalian makan aja, Ara udah makan tadi. Jadi, kalian nggak perlu khawatirin Ara.” Katanya tanpa perlu menengadahkan kepala, namun merasakan keterdiaman orang itu, membuatnya kembali berujar, “Ara nggak nangis la–”
“Nangis kenapa?”
Ara tersentak. Suara bariton itu... Tentu saja bukan milik Azam. Karena ia tak tahu siapa pemilik suara itu, membuatnya mengangkat kepala dan langsung bertatap wajah.
Itu... Adalah Ryan.
Ara mengerjapkan matanya berkali-kali, membuat lelaki didepannya itu terkekeh kecil.
“Suka banget kedip-kedip gitu.” Ujar Ryan merasa gemas sendiri namun tak bisa berbuat apapun karena tak mau menyinggung perasaan gadis lucu itu.
Sejak kapan seorang Ryan memikirkan perasaan orang lain?
Karena kebingungan, Ara mengerutkan keningnya dalam dan melarikan bola matanya keatas dengan pipinya yang menggembung.
Ryan tertawa. Ekspresi Ara seperti apa sih yang tidak menggemaskan dimatanya? Pikirnya. Jujur, dia... Adalah termasuk dari banyaknya laki-laki yang senang berganti pasangan atau playboy. Namun, saat pertama kali melihat wajah mungil dan bulat Ara dari jauh, membuatnya merasakan hal yang berbeda. Dan disaat ia dapat melihat wajah Ara dari jarak yang lumayan dekat, gadis itu malah menatapnya takut. Membuatnya ikut terenyuh dan berusaha sekeras mungkin agar bagaimana gadis itu tak lagi menatapnya seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA' S[completed!]
Romance"Kamu itu, udah seperti pompa bagi kerja jantung aku. Kalau kamu menjauh, otomatis jantung aku melemah. Artinya apa?" Gadis polos itu menggeleng lugu. "Kamu bunuh aku secara perlahan. Kamu tega?" Secepat kilat gadis itu menggeleng keras, "Ara nggak...