•Tak Pandai Berbohong•

9K 677 64
                                    

Happy Reading!

ARA'S

Eh, iya mo nanya nih. gimana cara kalian nemu cerita ARA'S ini?

*Jangan baca sampai bawah, bahaya!

• • •

Siklus kehidupan tak selalu berjalan lancar dan penuh kebahagiaan. Terkadang, hidup punya banyak kejutan yang tak terduga. Bagi mereka berhati baja dan kuat, tentu saja sudah siap menerima kejutan itu. Namun, bagaimana dengan mereka yang gampang sekali rapuh? Mungkin, tangisan dan isakan adalah teman setia setiap waktu.

Seperti hal-nya Ara, ia tak menyangka bisa berpisah dengan Azam hanya karena ia berubah perilaku dan sedikit menjauh. Tak bisa kah lelaki itu terus mendekatinya atau membujuk rayu seperti masa-masa kemarin?

Kembali lagi. Kehidupan pada hakikatnya adalah bagaimana cara mengendalikan rasa ego. Dan Ara rasa, mereka kini saling memuncakkan dan mengikuti alur ke-egoisan hati itu.

"Siapa kamu? Kamu apakan anak saya sampai menangis seperti itu?"

Azam kecil tak gentar, balas menatap lelaki yang terbilang masih cukup muda itu kini tampak memasang raut dingin dan tak senang dengan keberadaannya. Tangannya terus menggenggam erat jemari mungil yang kini tampak ketakutan itu. "Saya Azam, om. Azam nggak buat Ara menangis, tapi om sendiri yang membuatnya menangis." Suaranya masih lembut dan khas anak kecil, namun pikirannya begitu dewasa yang membuatnya selalu disegani dan disenangi oleh para ibu-ibu disekitar rumahnya.

Tommy mengeraskan rahangnya, "Kamu siapa, anak kecil?! Keluar kamu dari rumah saya!"

"Azam dengan senang hati keluar dari rumah om ini. Tapi jangan larang Azam untuk bermain dengan Ara." Ujarnya masih mendongak membalas tatapan sengit dari Tommy, "Om bahkan sudah membuat anak om sendiri menangis, setiap hari Azam temukan dia sedang terisak." Kini Azam menjujurkan diri.

Tommy menarik napasnya dengan kuat, lalu menghembuskan dengan perlahan. "Keluar kamu."

Ara menggeleng keras kemudian meraung dengan sangat kencang saat Azam mulai melepas tautan mereka, "Jangan pelgi, Ajim!" Ia menatap Tommy yang kini terpaku, "Ayah jahat! Ayah selalu jahat sama Ara! Ara mau ikut Ajim aja!" Teriak simungil Ara kemudian mengejar Azam yang kini berjalan pelan keluar rumah. "Ara mohon... Ara mau ikut Ajim. Ara takut sama ayah."

Azam terdiam, mengelus puncak kepala Ara dengan lembut, "Itu ayah kamu, kamu nggak perlu takut. Dia orang yang baik. Lagian, aku selalu ada untuk kamu, kok." Ujarnya dengan senyum tulus kemudian menghapus air mata Ara.

"Tapi Ara nggak mau. Ara mau Ajim selalu didekat Ara."

"Kamu harus menuruti perintah ayah kamu, Ra. Dia sayang kok, sama Ara."

Mereka terus berbincang sedih, Ara terus memohon, da Azam terus membujuk bahwa ayahnya adalah orang yang baik. Membuat Tommy yang menyaksikan itu menjadi termenung dalam diam, pintu hatinya yang semula keras mulai terketuk karena ucapan anak laki-laki yang dari kecil sudah nampak kecerdasannya itu.

Ara semakin meraung keras saat ingatan indah melintas dipikirannya, tak memedulikan lagi rambutnya yang lepek sedikit menutupi wajah yang tersuruk diantara lutut itu. Dan ia baru sadar, bahwa Azam kini telah memenuhi janji mereka berdua diwaktu dulu. Ia semakin terisak perih, mencengkram pagar didepannya itu dengan erat untuk menyalurkan dan berusaha menghilangkan sesak didadanya.

"Ara seneng, deh, Ajim udah tinggal disini!" Teriak Ara sangat bahagia, menatap Azam yang kini hanya memasang senyum tipis diwajahnya. "Ajim seneng, nggak?" Tanyanya masih dengan nada ceria.

ARA' S[completed!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang