*11. Jaga Jarak*

213K 16.1K 1.8K
                                    

Kalian sedang apa pas dapet notif BARRAKILLA update?

"Apa yang kalian lakukan di ruang UKS ini, huh?" tanya Bu Sifa dengan tatapan tajamnya.

Killa meremas seprai tempatnya berbaring. Keringatnya panas-dingin melihat Bu Sifa curiga pada dirinya dan Barra.

Ciuman di UKS. Apakah itu tindak pidana? Tindakan yang melanggar aturan? Killa takut dirinya akan dipenjara, jikalau sekolahan tahu. Ia mengedarkan pandangan ke pojok ruangan. Ada CCTV di sana. Perempuan itu semakin ketakutan dan malu. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya, tak berani menatap Bu Sifa.

"Oh, itu.... ini tadi Killa habis makan, Bu." Barra menunjuk dua mangkuk bakso mereka.

Kening Bu Sifa mengernyit bingung melihat dua mangkuk bakso; yang satu mangkuk bakso itu masih itu, sedangkan mangkuk satunya masih sisa baksonya. Makan dengan cara apa itu.

"Memangnya kalau makan, pintu ruangan ini harus dikunci? Iya, sepeti itu peraturannya?"

Kan, bisa saja pintu ruang UKSnya dibiarkan terbuka atau minimal, ditutup saja. Namun, bulan dikunci dari dalam. Bu Sifa sampai harus gedar-gedor dulu. Ia curiga, apa yang dilakukan Barra dan Killa itu karena lama sekali pintu UKS terbukanya. Bu Sifa sampai-sampai merasakan tenggorokannya sakit saking banyaknya mengeluarkan energi untuk berteriak tadi.

"Ya, takutnya Killa nanti kena virus, Bu," Barra menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Mencari-cari alasan yang bisa dilogis agar tidak terlihat kalau sedang berbohong. "Virus dari luar ruangan. Virus berbaya, Bu! Harusnya sih pake masker, ya, biar aman dan nyaman."

"Memangnya Killa sakit apa?" Bu Sifa maju selangkah lalu memeriksa suhu tubuh Killa. Awalnya beliau hanya menempelkan tangan kanannya di kening Killa lalu menyuruh Ani- siswi yang bertugas berjaga di ruang UKS itu untuk mengambilkan termometer.

"Demam, Bu! Iya, Killa sakit demam."

Flash back sebentar, beberapa menit yang lalu sebelum Barra membukakan pintu ruang UKS itu untuk Bu Sifa.

Killa meminta pengertian dari Barra. Ya, semacam negoisasi.

"Barra, please."

"Kenapa, sih, lo nggak mau dibawa ke rumah sakit, Kill? Separah apa penyakit lo itu, huh? Atau jangan-jangan lebih parah dari penyakit menular itu dan lo.... ingin nularin ke gue gitu? Wah, nggak bisa dibiarin nih."

"Barr," Killa tersenyum kecut. "Isi pikiran lo kok kayak sinetron ajab sih?"

"Anjrit! Enggak lah," elak Barra. "Isi otak gue ini sangat bermoral, ya."

"Oke, maka dari itu gue minta pengertian daro elo. Please, jangan bawa gue ke rumah sakit dan tolong bilang ke Bu Sifa dan ke yang lain bahwa gue udah baik-baik aja."

Barra diam sebentar. Ia butuh berpikir. Di luar ruang UKS, Bu Sifa makin bersemangat mengetuk pintu, seperti seorang debt collector yang tengah menagih hutang.

"Kalau gue nggak mau nurutin permintaan lo ini, lo bakal ngelakuin apa, hah?" tantang Barra sambil berkecak pinggang.

"Gue bakal benci lo!"

Barra mendengkus, tak percaya. "Impossible! Nggak mungkin bisa."

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang