*43. Syok*

162K 14.4K 1.8K
                                    

Divotes dan dikomen yang banyak, yak.

"Ayah! Ih, kok berisik banget, sih." Killa menggerutu sambil menutup kedua telinganya.

Karena tidak tahan, Killa bangkit dari meja belajarnya lalu melangkahkan kaki ke ruang tamu, di mana di situ ada Wiratmaja yang sedang menonton televisi dengan volume yang sangat keras. Membuat konsentrasi belajar Killa tak tentu arah.

"Ayah!" teriak Killa seraya meremas buku pelajaran bahasa Indonesia di tangannya. "Berisik, ih."

Siaran televisi tentang quiz itu sampai terdengar di kamar Killa saking kerasnya.

"Hah? Masak, sih?" Wiratmaja buru-buru mengambil remote televisi lalu mengecilkan volumenya.

"Nah, kalau gini 'kan lumayan nggak berisik."

"Ayah nggak kedengeran, Killa."

Dengan cemberut, Killa duduk di samping sang ayah. Duduk lesehan karena mereka belum punya kursi kayu atau pun sofa. Hanya ada meja kecil sebagai tumpuan televisi di sudut ruangan.

"Killa masih bisa denger dengan jelas, lho. Ayah udah tua. Mulai.... em," Killa memutar dua bola matanya, mencari kalimat yang pantas. "Apa itu namanya, yak."

"Kamu ngatain Ayah budek?"

"Ih, enggak!"

"Hahaha," Wiratmaja tertawa renyah. Melihat Killa menghampirinya sambil membawa buku, ia pun bertanya. "Oh, iya. Besok kamu udah mulai ujian, ya?"

"Iya, Yah!"

"Udah siap 'kan?"

"Ya.... gitu," jawab Killa dengan ragu-ragu.

"Jawab aja sebisa kamu. Ayah nggak pernah nuntut kamu harus punya nilai tinggi kok."

"Makasih, Ayah!" Killa memeluk tubuh tegap Wiratmaja lalu memposisikan diri tidur di pangkuan sang ayah sambil membaca buku.

Wiratmaja berusaha fokus pada tayangan di televisi, meskipun sebenarnya ia tidak bisa mendengar dengan jelas Omesh sedang memberi pertanyaan apa pada peserta lain, untungnya ada teks pertanyaannya dan bisa membaca gerak bibir para artis.

Tangan Wiratmaja mengusap-usap kepala Killa dengan lembut saat putrinya itu membaca dengan cepat pertanyaan-pertanyaan yang ada di bukunya.

Saat iklan berlangsung, Wiratmaja menundukkan pandangannya dan langsung menatap Killa yang sedang serius belajar di pangkuannya.

Kilauan emas murni membuat Wiratmaja mengernyitkan kening. Ia memegang tangan putrinya itu. "Cincin dari siapa ini?" tanyanya merasa asing.

Cincin itu terlihat mahal. Bukan emas murahan. Wiratmaja cukup bisa membedakan mana emas murni dan mana emas yang imitasi.

"Eh," Killa gugup. Ia langsung bangkit berdiri. Cewek itu lupa menceritakan tentang lamarannya Barra kemarin. "Em, ini... ini dari...."

Wiratmaja menatap tajam Killa. Sebisa mungkin bersabar menunggu putrinya itu memberinya penjelasan singkat.

"Ini dari Barra, Yah."

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang