Ada yang masih bangun? Mau bobok, ya? Lagi ngapain?
"Jiangkrek," umpatnya sambil menyesap rokok yang berada di sela jarinya. "Goblok banget gue."
Berulang kali Raden membentur-benturkan kepalanya ke dinding tembok yang sudah usang itu. Ingatan semalam mulai membayangi isi pikirannya, menggerogoti logika warasnya. Raden hampir gila rasanya. Tubuhnya menggigil, mengingat perilaku bejatnya kemarin.
Apakah ia manusia?
Bagaimana bisa?
"Argh!" Raden menonjok dinding tembok itu sekuat tenaga. Ia bahkan tidak perlu mencium cewek mana pun, selain sang mama. Namun, semalam semua terjadi secepat kedipan mata.
Tangisan, rintihan, tamparan, pukulan, dan amarah Ratih masih terdengar mendengung lirih di kedua telinganya. Menghantui hidupnya yang semula tenang, menjadi tak terarah. Sampai-sampai Raden memilih membolos sekolah dan mengasingkan diri ke gedung kosong yang sudah lama tak terpakai. Tak ada yang tahu ia ada di sana, selain teman terdekatnya. Sepulang sekolah nanti, kata teman-temannya akan menyusul ke sana. Raden menantikan hal itu.
Rokok yang cowok itu sulut mulai habis. Dari tadi pagi ia merokok di dalam gedung itu dengan perut kosong. Tatapan mata Raden kosong, menatap ke depan. Bayang-bayang raut wajah memelas Ratih semalam kembali mengusik pikiran Raden. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengenyahkan sekelebat memori kelam itu. Namun, justru kejadiannya makin terasa nyata ada di depan mata.
"Den! Please! Gue Ratih! Gue Ratih, Den! Bukan Killa!"
"Jangan... jangan...."
Raden menulikan indra pendengarannya saat jeritan Ratih semalam makin terasa mendengung di telinganya. "Kenapa gue sebudek itu sih kemarin malem, huh?"
Duduk sambil menekuk lututnya, Raden memeluk diri sendiri. Tak terasa, kedua lengan kekarnya itu saling bersentuhan. Ia merasakan ada perih di kulitnya. Melihat secara teliti, di lengan Raden itu banyak terdapat luka bekas cakaran, juga ada beberapa gigitan. Siapa pelakunya?
Tentu saja Ratih! Bukti nyata pemberontakan cewek itu.
Raden mengusap luka itu secara perlahan lalu memejamkan mata. Berharap ia akan melihat dunia hitam yang kosong, tetapi sangat disayangkan. Yang dilihat Raden justru adegan semalam semakin jelas terpeta; terputar reka adegannya kembali.
Cowok itu membanting tubuh Ratih ke ranjang seraya tangannya bergerak lihat melucuti pakaiannya. Ratih histeris dengan derai air mata yang sudah membanjiri kedua pipinya. Dengan satu gerakan sigap, Raden mengungkung tubuh Ratih di bawahnya.
"Kenapa elo nggak balas chat gue, huh?!" bentak Raden penuh amarah.
"Den...." cicit Ratih, ia memukul dada cowok itu. "Gue bales chat dari elo kok. Bahkan, sedetik chat itu baru masuk, gue udah cepat siaga buat membalasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...