Kalian sedang apa saat dapat notif BarraKilla update?
"Kamu kenapa, sih, Barr?" tanya Killa yang tahu kalau mood Barra sedang buruk karena kehadiran Raden tadi. Padahal Raden tadi hanya mampir untuk memberinya undangan pernikahan lalu berlalu pulang bersama Ratih.
Tidak sampai sepuluh menit ada di rumah Killa. Namun, sudah bisa membuat Barra uring-uringan.
"Lo yang kenapa senyum-senyum nggak jelas dari tadi cuma karena dapet undangan pernikahan dari Raden," ujar Barra sengit, melirik Killa dengan tatapan tajamnya.
Killa menahan senyum di kedua bibirnya. Tidak menyangka bahwa Barra akan bertingkah seposesif ini menunjukkan kecemburuannya. "Yah, aku ikut seneng lah karena akhirnya sahabat aku nikah."
Beneran cuma sahabat?
Raden tuh anggep lo lebih dari sekadar sahabat, Kill!
"Aku harap, Raden bisa bahagiain Ratih. Dia tuh selama ini tertekan banget lho, Barr."
Fak! Dia malah bahas Ratih lagi.
"Ratih itu selalu ditekan sama orang tuanya. Harus jadi anak pinter lah. Dapet ranking lah. Harus bisa masuk kedokteran," ujar Killa mengingat-ingat tentang Ratih. Seakan-akan Ratih adalah dirinya dan beban tekanan itu ia rasakan. Killa bisa merasakan pedihnya menjadi Ratih, padahal ia hanya sekadar sedang membayangkan saja. "Harus bisa menggeser rangking kamu di sekolah. Pokoknya... berat banget jadi dia, Barr."
Barra mengembuskan napas lelah. Ia menekan klakson mobilnya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Vei pamit akan pergi shopping. Tadinya wanita paruh baya itu akan mengajak Killa juga untuk berkeliling mal Jakarta hari ini, tetapi Killa tidak mau.
Barra sedikit tenang karena Killa tidak menunjukkan gejala sedihnya yang berkepanjangan. Sepertinya, Killa memang benar-benar sudah semangat hidup lagi. Tadi saja saat check up, Killa selalu menunjukkan senyumnya dengan lebar. Senyum lebar itu terasa tulus dari dalam hati Killa setelah Barra mengajaknya ke makam Wiratmaja. Killa hanya menaburkan bunga dan mengirim doa dengan sungguh-sungguh lalu meminta Barra mengantarkannya ke rumah sakit. Tidak ada tangisan lagi. Apa karena ada Vei yang menemaninya? Ah, entahlah. Yang jelas, Barra ikut bahagia.
"Barr," panggil Killa lagi. "Kasihan Ratih jadi nggak bisa kuliah kedokteran, padahal dia udah keterima di-"
"Fak!" umpat Barra kesal. "Lo kenapa selalu mikirin orang lain, sih, Kill?" geram Barra tertahan. Ia mencengkeram setir mobilnya. Menatap Killa dengan pelototan tajam, ia kembali berujar. "Sekali-kali lah lo pikirin tentang diri sendiri dulu."
Killa mengulum senyumnya. Tidak menyangka Barra akan berkata seperti itu. "Kamu mau aku mikirin tentang diri aku terus, huh?"
Barra menganggukkan kepalanya sambil mengarahkan setir mobilnya berbelok ke kiri.
"Kamu mau aku nggak usah mikirin orang lain lagi?"
"Iya, Killa. Iya! Lo fokus sama diri sendiri aja," ujar Barra sambil menoleh pada Killa dan ia tersadar jika nada suaranya meninggi. Membuat Killa menggeser duduknya lebih dekat ke jendela. "Gue nggak maksud marah ke elo. Gue cuma mu lo itu, jangan kebanyakan pikiran."
Maksud Barra itu baik.
Sangat baik.
"Kalau aku selalu mikirin diri sendiri, yang ada aku sedih kayak kemarin lagi," ujar Killa jujur, membayangkan hidupnya yang hampa beberapa hari lalu. Tepatnya saat Wiratmaja meninggal. "Kata Mama Vei, aku harus mikirin orang yang masih sayang sama Killa. Yang selalu support Killa."
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...