Jam berapa kamu baca ini? RAMEIN DONGGGGG.
Hehehe.
Killa terus tertawa. Ia tidak bisa menghentikan tawanya walaupun dada dan perut bagian bawahnya terasa nyeri tiap kali ia menarik napas. Otak Killa terus berpikir tentang kejadian yang telah terlewati. Flashback adegan demi adegannya.
Lo milik gue.
Itu hanya bualan dari Barra. Namun, Killa tetap bahagia saat mengingatnya. Setidaknya, ia pernah mendengar kalimat itu lalu merasa dirinya diinginkan.
Jangan nyusahin gue lagi.
Iya, Killa mengakui kalau dirinya itu parasit. Menyusahkan orang saja. Tidak bisa hidup mandiri.
"Killa!"
Tuhan, jangan buat aku berharap terlalu tinggi lagi.
Dan Killa tetap menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Barra.
"Jangan nangis."
Karena gue nggak bakal bisa peluk lo lagi.
"Hehehe," tiap kali Killa ingin menangis karena sadar akan perasaan cintanya yang terlampau dalam untuk Barra, ia akan tertawa pahit. Getir di bibir. Hambar. Kosong dan hampa.
Pergi, Barr. Pergi yang jauh. Aku nggak papa.
Killa meremas kuat ponsel dan sapu tangan pemberian dari Raden. Ia menatap Barra intens. Menunggu Barra berubah pikiran. Perempuan itu masih berharap Barra menggapainya kembali, datang memeluknya. Mengajaknya pulang lalu membicarakan semuanya baik-baik.
Itu cuma angan-angan yang tak berarti sama sekali. Nyatanya, Barra hanya diam.
Barr? Kalau aku pingsan sekarang, apa kamu bakal kasihan lagi sama aku?
Killa berdoa dalam hati, berharap penyakitnya kambuh. Berharap ia jatuh pingsan detik ini.
Tapi, Barr.... hidup sebatas rasa kasihan dari kamu itu nyakitin.
Menunggu cukup lama, Barra tetap pada posisinya. Killa mengangguk-anggukkan kepalanya, memantapkan hatinya. Ia berbalik, meneruskan langkah kakinya mendatangi sebuah panti asuhan bertuliskan Bunda Nirmala.
Langkah kaki Killa sungguh berat. Ia bolak-balik mengusap peluh dingin di dahinya. Hatinya semakin teriris tatkala mendengar suara mesin mobil menyala. Dengan refleks Killa menoleh lagi pada asal suara mesin mobil itu.
Mobil itu melaju, meninggalkan sedikit asap yang mengepul.
Barra pergi. Meninggalkannya. Membawa semua kepingan harapan besar di hidup Killa hingga perempuan itu benar-benar merasa kehilangan support systemnya.
"Barra, kamu bakal balik 'kan?" tanya Killa mengamati mobil Barra yang sudah hilang dari arah pandangnya.
Jangan nangis.
"Aku malah pengin nangis, Barr." Killa melewati panti asuhan itu. Ia berjalan terus tanpa tujuan.
Tidak punya rumah. Tidak punya siapa-siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...