*25. Regret*

190K 14.1K 2.1K
                                    

Hal aneh apa yang kalian lakukan hari ini?

"Ma, Ayah nggak sarapan hari ini?"

"Ayahmu udah berangkat kerja," jawab Anisa dengan ketus. "Cepet kamu habisin sarapanmu."

"Tapi, Killa pengin makan bareng Ayah, Ma."

"Killa, jangan manja deh!" protes Anisa tak terima. "Kamu tahu, berapa uang yang Mama sama Ayahmu ini keluarkan selama kamu di rumah sakit kemarin? 5 juta! Itu cuma biaya opname-nya aja. Belum obatnya. Makanya, obatnya diminum terus, jangan sampai kelewat sehari aja. Kamu itu bisa hidup bergantung sama obat-obatan itu."

Killa menelan ludah. Mengingat-ingat peristiwa yang sudah lama terjadi. Entah kenapa, melihat Wiratmaja memasakannya sarapan lalu mengajaknya makan bersama- hal itu membuat Killa geram. Killa marah pada dirinya sendiri lalu melampiaskannya pada sang ayah. Ia marah karena dirinya terlahir dengan tak sempurna, selalu menjadi beban hidung kedua orang tuanya. Padahal sejatinya, semua orang terlahir dengan tidak sempurna. Selalu ada kurang dan lebihnya. Tidak pernah satu sisi saja. Selalu mempunyai dua sisi.

"Kalau kamu nggak minum obat itu, kamu bisa mati."

"Iya, Killa minum kok. Tapi, obatnya pahit banget, Ma."

"Ya, semua obat pahit lah. Kamu kira permen, bisa manis," sahut Anisa dengan sinisnya. "Dan satu lagi, kamu jangan minta yang aneh-aneh sama Ayahmu. Cukup diem aja."

"Killa juga nggak boleh minta sarapan berdua sama Ayah, Ma?"

"Nggak boleh!" tandas Anisa tanpa pikir panjang. "Ayahmu itu kerja. Nggak ada waktu buat kamu. Jadi, jangan berharap untuk hal yang sia-sia."

Killa tersenyum getir. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri. Wiratmaja dari dulu tidak pernah ada waktu untuknya. Sepulang kerja, beliau hanya akan mengajari Tiara. Lalu memuji Vio dengan segala prestasi yang didapatkan kakaknya itu. Killa? Benar-benar tak pernah diperhatkan.

Jangan berharap untuk hal yang sia-sia.

Killa menekan kalimat itu terus dalam benaknya. Bisa saja Wiratmaja hari ini memberinya bahagia, lalu esok hari memberinya luka lagi. Menerbangkannya setinggi langit lalu dengan mudahnya membuat Killa jatuh tersungkur lagi. Akan lebih baik, Killa memberi tameng pada diri sendiri. Untuk tidak berharap pada siapa pun agar tak lagi kecewa.

Dengan langkah kaki lebar, Killa mendekati Barra. Cowok itu tampak ingin maju ke depan, menghampiri Wiratmaja. Menyalami tangan calon mertuanya untuk sekadar berbasa-basi, memperkenalkan diri. Namun, meneliti dari raut wajah Killa dan Wiratmaja, keduanya sedang sama-sama keras kepala. Barra memilih diam di tempat saja dengan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

"Yuk, berangkat."

"Lo belum pamit ke Bokap elo, Kill."

"Udah, Barr."

"Belum, Killa." Barra mengukuhkan diri. "Gue belum lihat lo salaman tangan sama Bokap lo."

Killa mendelik. "Nggak perlu!"

Sontak Barra geleng-geleng kepala. "Kalian lagi marahan? Iya?"

Dan saat Barra menolehkan kepalanya ke arah pintu, Wiratmaja sudah tidak ada di sana. Pria paruh baya itu sudah melenggang masuk ke dalam rumah.

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang