"Barra, Killa ajak main ke rumah lagi dong. Mama mau ngobrol-ngobrol lagi."
"Killa sibuk, Ma. Lagi persiapan buat ujian nanti."
"Oh, iya yah. Kalian 'kan bentar lagi ujian," ujar Vei. "Berarti, jadwal operasinya Killa sebentar lagi dong. Katanya, setelah kalian ujian."
"Iya, Ma."
"Dia pasti takut banget."
"Enggak, tuh, Ma. Dia biasa aja kok."
"Barra...." Vei mengesah panjang. "Katanya kamu sayang sama dia, cinta. Kok gini, sih? Mama nggak suka deh punya anak yang pengecut. Kalau kamu khawatir sama dia, yah ungkapin aja. Tunjukkin perasaan kamu. Waktu nggak akan nunggu kita. Dan kesempatan kedua itu sulit didapatkan. Kalau kamu beruntung, yah kamu bakal dapat kesempatan kedua. Em, atau bisa jadi semua nggak akan bisa sama lagi."
"Mama ngomong apa, sih?" gerutu Barra pura-pura tidak tahu, padahal kalimat terakhir yang diucapkannya sang mama itu begitu menohoknya.
Vei mengembuskan napas panjang. "Katakan sekarang, atau enggak sama sekali."
Gara-gara nasihat itu, Barra mengajak Killa kencan untuk pertama kalinya. Keadaan akan sangat canggung nantinya, tapi Barra akan mencoba untuk melawan egonya yang makin meninggi. Di rumah tadi, ia sudah belajar ngomong di depan kaca. Bahkan, Barra menghafalkan beberapa dialog pamungkasnya sambil terus mengusap-usap wajah, tidak nyaman. Kurang merasa lepas.
"Ayah, Killa pergi dulu, ya."
Mendengar suara lembut Killa dari dalam rumah cewek itu, membuat Barra pura-pura baru saja melepas helm bawaanya.
"Eh, Barra udah dateng..." cicit Killa seraya memakai sepatu kets. "Udah dari tadi?"
"Enggak," jawab Barra lalu melangkahkan kaki maju, menyalami punggung tangan Wiratmaja dengan sopan. "Baru aja kok. Om, saya izin bawa Killa jalan-jalan bentar, ya."
"Pulang jam berapa?" desak Wiratmaja. "Jangan sampai larut malam. Di luar dingin."
"Nggak lebih dari jam sembilan malam, mungkin," ucap Barra dengan ragu-ragu.
Killa merapikan rambutnya lalu ikut berpamitan pada sang ayah. "Yah, Killa berangkat dulu, ya. Dadah!"
Killa naik ke atas motor Barra, melambai pada Wiratmaja sebentar lalu motor itu dilajukan dengan kecepatan konstan. Cewek itu bertanya beberapa kali pada Barra, mau mengajaknya ke mana. Dan Barra hanya menjawab dengan mengedikkan kedua bahunya.
"Barra, ih! Gue serius," dengkus Killa dengan kesal. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Barra.
"Gue juga serius," jawab Barra tak kalah gigihnya dengan Killa. "Gue nggak tauk, nih. Mau bawa lo ke mana. Muter-muter Jakarta aja, yak."
"Ish!" cibir Killa. "Katanya, kencan."
Barra menghentikan motornya di gedung tinggi bertingkat, apartemennya. Ya, karena kejutan yang ia siapkan untuk Killa ada di sana.
"Kok ke sini lagi?" Killa melototkan matanya. Ia pikir, Barra akan mengajaknya nonton bioskop berdua atau makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Ternyata, Barra mengajaknya ke apartemen. Tentu saja itu membuat Killa awas.
"Ya, ada sesuatu..." ujar Barra seraya melepaskan helmnya. "Lo nggak mau turun, nih?" tanyanya saat Killa masih bergeming duduk di jok motornya.
"Eh," Killa mengerjap-ngerjap lalu tersadar dari lamunannya. "Lo nggak bakal ngapa-ngapain gue 'kan, Barr?"
"Nggak bakal," balas Barra cepat. "Kalau nggak khilaf, sih."
Perkataan Barra itu ambigu. Bisa berubah-ubah maknanya tergantung keadaan. Omongannya tidak bisa dipercaya secara 100% karena bisa saja melesat. Namun, bagian dalam hati kecil Killa mengatakan bahwa cowok seperti Barra tidak akan pernah tega merusaknya.
Atta begitu hangat, figur papa yang sangat didambakan oleh anak-anak di luar sana. Begitu pun Vei, yang humble-nya luar biasa. Didikan kedua orang tuanya yang begitu tak diragukan lagi.
Jadi, saat Barra menggandeng tangannya dan mengajaknya ke unit apartemen itu, Killa pasrah saja.
"Lo cantik deh malam ini, Kill."
Dari tadi Barra ingin langsung memuji Killa, tapi pujiannya itu tertahan karena ada Wiratmaja. Sekarang, mereka sudah resmi berduaan saja.
"Jarang gue lihat lo pake dress gini."
Iya, Killa memang sangat jarang memakai dress karena ia tidak suka saja. Dress yang dipakai Killa saat ini adalah dress lama. Pernah satu kali Killa pakai saat ada acara arisan keluarga. Dress itu motifnya sama dengan milik Vio- kakaknya. Setiap kali memakai dress itu, Killa ingat betul selalu jadi bayangan dari Vio. Dibanding-bandingkan. Maka dari itu, Killa lebih memilih memakai kaus oblong biasa karena Vio tidak suka style begitu.
Tidak terasa, mereka berdua sudah sampai di depan pintu apartemen Barra. Sebelum Barra membuka pintunya, ia meminta pada Killa untuk memejamkan mata.
"Mau ngapain?"
"Udah, deh. Lo jangan banyak tanya," ujar Barra. "Tutup mata sekarang."
"Nggak mau!" cemberut Killa sembari menggelengkan kepalanya.
"Killa..." panggil Barra dengan suara khasnya yang menggema. Ia berdeham lebih keras. "Come on, Baby. Jangan banyak protes."
"Janji? Janji nggak bakal ngapa-ngapain Killa 'kan?" tuntut Killa.
Raden yang Killa anggap sebagai cowok baik yang begitu ia damba saja bisa berbuat khilaf, apalagi Barra yang kelakuannya sudah berada di atas level teman-temannya itu.
"Gue janji," tegas Barra meyakinkan Killa. "Lo tutup mata, ya, sekarang."
Menarik napas panjang, lalu Killa memejamkan matanya. Ia menuruti perkataan Barra.
Cowok itu mengeluarkan sehelai kain dari saku celana jeansnya lalu melilitkan kain itu di kepala Killa agar menutupi kedua matanya.
"Kok pake ditutup kain segala, sih?" perasaan Killa makin resah.
Barra tidak memberi jawaban apa pun pada Killa. Setelah menutup mata Killa, ia menuntun tubuh ramping cewek itu untuk masuk ke dalam apartemennya yang masih dalam keadaan gelap.
Lampu yang ada sebagai penerang di sana sengaja dimatikan. Barra sedikit menghias apartemennya dengan meminta bantuan Alex dan Kai.
"Bentar," Barra memberi instruksi. Cepat-cepat ia menyalakan lilin yang ada di atas kue tar berbentuk bulat di atas meja. Ada balon-balon warna-warni juga balon berbentuk huruf yang jika dibaca secara bersambung menjadi sebuah kalimat pertanyaan.
Setelah lilin di kue itu menyala, Barra membuka kain penutup mata Killa. "Satu, dua, tiga...."
Tidak ada yang ulang tahun. Baik itu Barra maupun Killa. Namun, Barra hanya ingin merayakannya saja. Benar-benar sebuah perayaan atas kesadaran hatinya.
Dengan pencahayaan remang-remang, Killa mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menerka-nerka sedang ada acara apa ini.
"Barra, hari ini aku nggak ulang tahun, lho."
"Emang," jawab Barra dengan santainya. "Ini bukan perayaan ulang tahun. Coba lo baca tulisan itu."
Jari Barra menunjuk ke arah balon berbentuk huruf yang terangkai indah di dinding apartemen Barra.
Killa sempat menahan napas saking terkejutnya. Ia tidak sedang bermimpi 'kan? Tidak 'kan?!
Melihat Killa yang terperangah dengan mulut sedikit terbuka, Barra lalu membaca kalimat dari rangkaian balon huruf itu. "Will you marry me?"
------
A/n: Komen perasaan kalian pas baca part ini^ aku tuh belum niat nulis part konfliknya. Sedang ada di fase pengin nyerah karena suatu hal.Kalau mau lihat visual cerita ini bisa melipir ke Instagram; bisa follow Instagram @novaasiswanto @barrabas.mahesa @aw.killaa @aw.raden @ratih.audiaa
Dari seorang perempuan yang lagi males makan.
Minggu, 08 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...