"Ayah bakal ceritain semuanya," ujar Wiratmaja seraya mengeratkan genggaman tangannya pada tangan mungil Killa yang pucat. "Kamu harus dengerin ini, ya."
Killa menatap Wiratmaja dengan pandangan mata yang memburam karena genangan air matanya sendiri yang tertahan di pelupuk matanya. Sebelum air mata haru itu jatuh lagi untuk yang kesekian kali, Killa mengusapnya. Ia mengulas senyum tipis dari bibir pucatnya yang tampak pecah-pecah. "Yah..."
"Iya? Kamu minta apa, huh?"
"Ayah bisa ceritain itu besok," ujar Killa. "Kalau Killa udah keluar dari rumah sakit."
Jujur saja, Killa tidak mau moment berharga itu rusak karena cerita sedih masa lalu. Apalagi di tengah kondisinya yang sedang kritis, down parah. Killa merasa benar-benar tak sanggup, jikalau harus memasang dua telinganya untuk mendengarkan cerita tentang asal-usul dirinya. Meskipun, Killa sangat ingin tahu tentang hal itu.
Untuk kali ini, Killa mencoba menyayangi tubuhnya. Hatinya. Dan yang terpenting jantungnya.
Tahu tidak? Detak jantungnya saat ini sedang tak keruan karena diliputi gairah kebahagiaan yang memuncak. Bak mimpi! Beberapa kali Killa sempat mencubiti kedua pipinya untuk memastikan apakah dia sedang berhalusinasi saja. Namun, ternyata dia tidak sedang berhalusinasi. Itu nyata dan benar terjadi.
"Killa belum sanggup, Yah."
"Oke," Wiratmaja mengusap rambut panjang Killa yang tergerai kusut. "Yang terpenting sekarang itu kesehatan kamu. Sekarang, kamu istirahat, ya."
"Ayah jangan ke mana-mana," Killa memegangi lengan Wiratmaja. "Di sini aja. Nemenin Killa."
"Iya...." jawab sang ayah sambil menganggukkan kepalanya pelan. Dua bola mata Wiratmaja memerah, mengingat diagnosa dokter tadi. Secepat mungkin, ia harus cari uang untuk biaya pengobatan operasi Killa. Harus!
Killa mulai diserang rasa kantuk dari obat yang dokter berikan. Dadanya sudah tak terasa nyeri dan sesak lagi, perlahan-lahan Killa mencari posisi tidur yang pas lalu memejamkan mata. Rasanya nyaman sekali tidur ditemani dengan Wiratmaja di sampingnya. Tatapan mata teduh itu yang selalu Killa harapkan. Dan tak disangka, ia dapatkan itu sekarang.
Ceklek....
Pintu ruang rawat Killa dibuka dari luar. Tepat di saat Killa sudah terlelap. Wiratmaja mendesis. "Jangan berisik. Killa baru aja tidur."
"Kenapa lagi anak kamu ini, huh?"
"Nis," Wiratmaja bangkit berdiri, tapi lengannya dicengkeram erat oleh Killa. Menundukkan tubuhnya sebentar, Wiratmaja berusaha melepaskan cengkeraman tangan itu tanpa berniat membangunkan Killa dari tidur lelapnya.
Anisa mendengkus sebal melihat tingkah Wiratmaja. Selama masih menjadi istri dulu, Anisa bisa saja mengatur-atur Wiratmaja, menyuruh suaminya itu untuk jaga jarak dengan Killa. Sangat mudah melakukan hal itu. Namun kini, ia sudah tidak punya hak istimewa itu lagi. Kasih sayang Wiratmaja sudah sepenuhnya tercurah untuk Killa secara terang-terangan.
"Ssstt..." Wiratmaja menghela napas panjang saat berhasil melepaskan cengkeraman tangan Killa. Ia segera melangkah mendekati Anisa lalu menarik lengan mantan istrinya itu dengan sedikit kasar.
Tergopoh-gopoh, Anisa dibawa keluar dari ruang rawat Killa. Wiratmaja butuh bicara empat mata dengan Anisa. Sangat butuh!
"Awh, sakit!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...