Kalian kalau sedih, biar mood baik tuh ngapain sih?
"Boleh jujur nggak," ucap Barra tegang. Tidak pernah sebelumnya ia ke rumah sakit untuk periksa kesehatannya. Ya, sejauh ini- di umur 17 tahun, Barra tidak pernah diserang penyakit serius. Selain flu dan batuk biasa, itu pun tanpa minum obat sudah bisa sembuh sendiri.
Ya, pernah juga sih Barra demam tinggi karena main bola sambil hujan-hujanan, terus bisa sembuh setelah minum obat penurun panas. Itu pun jarang. Bisa dihitung dengan jari, berapa kali Barra minum obat.
"Apa?" tanya Killa sambil mendongakkan kepalanya.
"Lo nggak takut, huh?" Barra mengedarkan pandangannya ke deretan kursi ruang tunggu itu. Dari semua pasien yang mengantre, hanya Killa yang terlihat normal. Tidak ada tanda-tanda parah.
Beberapa dari pasein yang di sana terlihat pucat, kulit kebiru-biruan, tatapan mata yang kosong. Ya, bisa dibilang Killa yang terlihat paling sehat di antara mereka. Justru ternyata Killa-lah yang didiagnosa oleh dokter umurnya tidak sampai setahun lagi.
"Ya, takut, sih," Killa memejamkan mata sebentar. Lalu ia memaksakan senyum.
"Sumpah! Gue takut lho, Kill."
"Sorry," Killa membasahi bagian bawah bibirnya. "Gue nyusahin elo banget, yak. Hahaha. Emang gue ini parasit orangnya."
"Bukan gitu maksud gue," Barra mulai merasa perasaan Killa sensitif sekali. Saat ditatap dua bola mata cewek itu, Barra melihat ada pelangi di matanya. "Kenapa kita ngantre di sini, sih? Ini paseinnya pada... em lihat deh tuh yang di sana. Kayak orang yang udah nggak semangat hidup lagi. Kita pindak, yuk."
Gue pun sama, Barr.
"Hahaha," Killa tertawa kikuk. Barra melotot saat mendengar suara tawa Killa yang begitu menyakitkan di telinganya. Kentara sekali sangat dipaksakan. "Sayangnya ini antrean buat check up rutin gue, Barr."
"Jangan bilang lo sakit kanker, ya?!" tebak Barra.
"Salah," jawab Killa. "Tuh! Baca aja."
Arah pandang Barra mengikuti telunjuk Killa. Cewek itu menunjuk tulisan yang tertera di pintu periksa. Pintu itu bertuliskan, 'Dokter Spesialis Jantung.'
Mulut Barra terbuka. Terperangah. Ia tidak pernah menyangka ternyata Killa punya sakit jantung. Saat Barra akan menginterogasi Killa, nama cewek itu sudah disebut oleh salah seorang perawat. Yang menandakan bahwa tiba giliran Killa yang diperiksa.
Melihat ada sorot kesedihan, takut, serta khawatir dari dua bola mata indah milik Killa itu- Barra meraih tangan Killa lalu menggandengnya.
"Eh?" kaget Killa saat Barra menggandengnya masuk ke ruangan dr. Edi.
Pasien di ruang tunggu yang rata-rata ibu-ibu lanjut usia itu langsung berbisik-bisik. Bayangkan saja Barra dan Killa masih mengenakan seragam SMA dan sudah bergandengan tangan mesra ke rumah sakit.
Berpikir bahwa Killa hamil duluan. Ya, masak hamil duluan tapi periksanya ke dokter spesialis jantung, sih?
Are you kidding me?
Barra tertawa saja mendengar cibiran itu. Ia sengaja melebarkan langkah kakinya.
Memasuki ruangan dr. Edi, Barra merasa gugup luar biasa. Apalagi saat dr. Edi menyambut Killa dan menyapa Barra. Menanyakan pada Killa siapa yang ia bawa kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...