*55. Masih Gengsi*

153K 17K 3.5K
                                    

Kaget nggak aku up? wkwkwk. Semoga kalian senang.

"Kalau aku tidur di sini, kamu tidur di mana?" tanya Killa tidak nyaman. Ia mau-mau saja tidur di kamar Barra yang super mewah, tapi seolah-olah tidak tahu diri sekali.

Killa pikir, kedua orang tua Barra pun akan mengusirnya secara halus. Membujuknya untuk tetap tinggal di panti asuhan. Namun, Atta dan Vei justru mau menerima Killa. Mereka berdua sudah menganggap Killa seperti anak sendiri.

Ya, maunya sih gue juga tidur di sini. Berdua gitu.

Tapi....

Mana mungkin itu terjadi?!

Bisa-bisa ia disunat dua kali oleh papa dan mamanya. Jadi, Barra menjawab. "Gue yang tidur di kamar tamu."

"Kok gitu?" tanya Killa masih dengan perasaan tidak nyaman. "Ini 'kan rumah kamu."

"Ya, nggak papa. Kamar tamu tuh jarang ditinggali jadi, banyak setannya. Lo nggak cocok tidur di sana."

Killa mengernyitkan keningnya sambil memanyunkan bibir. "Ih, bohong. Masak gara-gara itu."

Barra menaikkan selimut putih ke dada Killa, memberi isyarat agar cepat lelap. Jangan banyak tanya lagi. "Sumpah di sana banyak setannya. Ntar lo jerit-jerit lagi."

"Apaan, sih, Barr. Nggak mungkin," Killa masih gigih dengan ketidak percayaannya. "Emangnya kamu nggak takut sama setan apa?"

"Nggak," jawab Barra cepat. Ia menyalakan lampu duduk yang terletak di atas nakas. "Ngapain coba setan takut sama setan?"

"Ih!" kesal Killa karena Barra mulai melantur.

"Good night," Barra berjalan menjauh dari ranjang, bersiap keluar dari ruang kamarnya dan membiarkan Killa istirahat.

Ingin sekali Barra mengecup kening Killa, tapi takut saja karena ada papa dan mamanya. Ya, Barra merasa diawasi saja. Seandainya papa dan mamanya ada di luar rumah, maka Barra bisa leluasa.

"Barr," panggilan dari Killa itu membuat Barra mengurungkan niat untuk menutup pintu.

"Apa?"

"Bilangin makasih, ya, ke Om Atta sama Tante Vei," ucap Killa dengan senyum lebarnya. Tadi ia sudah mengucapkan kalimat itu langsung pada kedua orang tua Barra, tapi rasanya masih kurang puas. Ia ingin mengucapkannya berulang kali, berkali-kali lipat kalau perlu saking bingungnya bagaimana membalas kebaikan mereka.

"He'em," jawab Barra dengan singkat. Ya, hanya dehaman pendek saja.

"Barr!"

"Apa lagi, astaga?!" Barra berdecak kesal. Untung saja ia sayang pada perempuan itu, coba kalau perempuan lain yang begitu, pasti Barra abaikan.

Killa meringis dan sedikit menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Besok... kita pergi ke pernikahannya Raden 'kan?"

Dan Barra lupa akan fakta itu.

"Kok wajah kamu gitu?" tanya Killa saat mengenali perubahan yang jelas pada raut wajah laki-laki itu.

"Lihat besok aja," jawab Barra dengan nada datar. "Tidur, gih. Jangan nyusahin gue lagi."

Killa menelan ludah dengan susah payah. Apa ia semenyusahkan itu bagi Barra? Killa diam, menatap pintu kamar Barra yang tertutup dengan debuman pelan. Ia mengusap dadanya setelah itu lalu berbaring dengan posisi miring.

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang