*44. Firasat*

167K 14.3K 2.1K
                                    

"Nggak usah dipikirin lah. Masalahnya Ratih, ya, Ratih...."

"Iya, Barr. Tapi 'kan Ratih," Killa menggigit bagian bawah bibirnya. Gugup. Perasaannya tidak enak. "Kamu coba bantu bilang dong ke Raden suruh tanggung jawab."

"Itu bukan urusan gue, Killa."

Killa menghela napas panjang. "Bayangin aja kalau aku ada di posisinya Ratih. Pasti berat banget."

"Impossible! Jangan pernah mikir kayak gitu lagi," ketus Barra. "Lo bukannya ada jadwal check up, ya, hari ini?"

Pengalihan topik memang baik dilakukan sekarang karena Barra bosan tentang semua hal yang meyangkut Raden.

"Iya," jawab Killa dengan lesu.

"Mau gue anter?" tawar Barra, berharap Killa mengiyakan ajakannya. Kan, bisa sekalian Barra ajak jalan-jalan sebentar.

"Enggak," tolak Killa. "Kata Ayah, periksanya sama Ayah aja. Nunggu Ayah pulang kerja."

"Jam berapa?"

"Habis ini pulang kok," jawab Killa lagi. "Nggak tahu jam berapa."

Ada hening lumayan panjang lewat sambungan telepon itu. Killa diam saja, ia malas mencari topik obrolan lain karena perasaannya gelisah. Mungkin karena terlalu memikirkan Ratih dan betapa berengseknya Raden- sahabatnya itu. Sedangkan Barra sendiri memeras otak, mencari obrolan ringan yang lain. Namun, ide obrolan lain tak lantas datang tiba-tiba.

"Em, nggak kamu matiin aja teleponnya," ujar Killa akhirnya. Ia menatap layar ponselnya yang masih menyala. Panggilan telepon dengan Barra masih tersambung, padahal sudah hampir lima menit mereka saling diam saja. Hening yang benar-benar hening. "Daripada saling diem gini."

"Om Wiratmaja udah pulang, huh?"

"Belum," jawab Killa sambil menatap ke arah jam dinding. Sebentar lagi, mungkin. "Memangnya kenapa?"

"Ya, udah," ujar Barra. "Kita teleponan sampai Ayah lo pulang."

"Huh?"

"Ngomongin segala hal, apa pun itu."

••••••••••

Sepulang check up, Killa dan Wiratmaja tidak langsung pulang. Mereka makan malam di sebuah restoran dulu.

Killa bilang, ia ingin makan di warung nasi lesehan saja yang tentu harganya lebih murah dan pas di kantong. Namun, Wiratmaja gigih mengajak Killa makan di restoran seafood. Makanan laut.

"Ayah, di sini 'kan mahal harga makannya," keluh Killa, merasa harus hidup hemat.

Sebentar lagi ia akan menjalani operasi. Yang artinya, membutuhkan banyak biaya.

"Nggak apa-apa, Killa. Sekali-kali kita makan enak, ya."

Wiratmaja memesan kepiting lada hitam dua porsi.

"Ayah, makasih banyak!" seru Killa dengan senyum lebar di bibirnya.

Wiratmaja kembali duduk di hadapan Killa sambil menunggu pesanan makanan mereka datang. "Killa, kamu kenapa dulu sering check up sendiri? Nggak minta temenin Mama Anisa atau Kak Vio aja."

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang