Nungguin, ya, dari pagi?
Barra pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Ia sengaja menerjang hujan deras. Tidak mau berlama-lama di rumah Alex. Jika Barra tetap membiarkan dirinya berada di sana, pastilah ia akan menghabisi Raden.
Bola mata Barra melebar tatkala pandangan matanya menangkap plang asing bertuliskan rumah dijual di depan gerbang rumah Killa.
Tangannya mengepal kuat. Ia segera turun dari motornya dan berteriak-teriak memanggil nama Killa.
Hujan semakin deras dan Barra semakin kalut memandang kosong rumah Killa.
Sial! Pasti ulah Mama tirinya Killa.
Barra kembali menaiki motornya, niat hati ingin langsung mencari Killa. Entah di mana pun perempuan itu berada, Barra bersumpah akan menemukannya. Namun, Barra menangkap sosok asing duduk di teras rumahnya.
Jarak teras rumah Barra dan jalan raya memang dekat, apalagi gerbang rumahnya sengaja dibuka.
Perempuan itu duduk berjongkok sambil menatap hujan. Dilihat dari jauh, sosok itu sedang menangis. Dadanya naik-turun tak beraturan.
Tidak butuh waktu lama bagi Barra untuk segera memeluknya. Bahkan, Barra rela meninggalkan motornya begitu saja.
"Shit! Lo ngapain hujan-hujanan kayak gini!" sebal Barra, ia peluk Killa seerat mungkin guna menyamarkan kedinginannya.
Killa menggigil dalam pelukan Barra. Ia juga tetap menangis sesenggukkan.
"Ma! Mama!" teriak Barra memanggil Vei. Bisa-bisanya sang mama membiarkan Killa-nya kehujanan. Kalau Killa sakit demam, bagaimana?
Bukan sang mama yang datang, melainkan Bi Ina- asisten rumah tangga yang bertugas bersih-bersih di rumah keluarga Mahesa. "Iya, Den."
"Bi, Mama saya mana?!" Barra menggunakan nada tinggi karena panik.
"Em... engh, Nyonya Vei dari pagi masih arisan di rum-"
"Sial!" Barra mengumpat lagi, memotong penjelasan dari Bi Ina. "Kenapa Bibi nggak nyuruh Killa masuk, hah? Siapa yang nyuruh dia nunggu di depan teras gini? Bego!"
Bisa saja Killa duduk diam di kursi teras yang letaknya menjorok ke dalam. Namun, Killa sengaja menunggu Barra di tempat yang membuatnya kehujanan.
"Barr...." bibir Killa bergetar, ia paksakan untuk bersuara hingga suaranya pun terdengar bergetar. "Aku yang pengin nunggu kamu di sini."
"Non, silakan masuk. Nyonya Vei masih di luar."
"Ndak usah, Bi. Saya tunggu di sini aja."
"Saya teleponkan Nyonya Vei dulu, ya, Non."
"Ndak usah, Bi. Saya bisa nunggu kok."
Kalimat lemah lembut yang Killa keluarkan dari bibir mungilnya itu mampu menguapkan seluruh amarah Barra. Yang terpenting saat ini adalah membuat Killa tidak kedinginan lagi.
"Bi, tolong siapkan air hangat dan teh hangat."
"Siap, Den."
Kemudian, Bi Ina berlalu masuk ke dalam.
Barra mengusap-usap punggung Killa, menuntun perempuan itu untuk masuk ke rumahnya. Karena Killa jalan dengan langkah kaki yang pelan, Barra gregetan sendiri dan tidak sabar. Tubuh keduanya sudah saling menggigil kedinginan, kalau dibiarkan terlalu lama dalam kondisi seperti itu- maka akan demam tinggi.
Jadi, Barra tiba-tiba melakukan gerakan spontan dengan menggendong Killa ala bridal style.
Raut wajah Killa yang dipenuhi air mata itu membuat Barra terhenyak. Dua bola mata perempuan itu menyipit saking sembapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraKilla
RomanceLENGKAP! Follow akun ini sebelum baca🐧 Warning! Peringatan! Cerita ini bisa membuat kalian mengumpat, menangis, dan tertawa (jika satu SELERA)🍭 "Barr, aku juga nggak tahu kenapa Raden nyium aku." "Shit! Diem, Bego!" "Maaf." "Tahu nggak, kenapa gue...