*46. Kehilangan (√)*

199K 16.1K 3.6K
                                    

Setiap orang pasti pernah kehilangan.

Sebagian udah ngerasain kehilangan 'kan di part kemarin? Baca part 45 terus baca part ini, yak. Nggak niat nge-prank. Karena daku bukan Atta yutupers.

Jadi, kronologi ceritanya gini... aku up tanggal 13. Banyak yang DM, nagih aku belum up. Terus aku coba buka pake akunku yang satunya. Tuh part 45 ada, eh enggak ada juga. AKU NGGAK TAHU KENAPA!!!! aku coba up part 46, kupikir nggak ke-update. Eh, kok ke-update? Padahal part 45 udah aku up berulang kali, tetep aja part 45 nggak ada notip. Tapi, part 46 ada notip.

MAKASIH! BERKAT KEJADIAN KEMARIN, AKU JADI TAHU MANA PEMBACA YANG BENERAN MENGHARGAI SAMA PEMBACA YANG.... AH, SUDAHLAH.

Spesial sudut pandang Barra-

Gue nggak tahu definisi kehilangan yang pasti itu kayak gimana. Banyak arti tentang kata 'kehilangan' yang berbeda-beda tiap orang yang merasakan.

Gue pernah lihat Papa nangis pas kakek meninggal. Pertama kalinya gue melihat dengan mata kepala gue sendiri Papa nangis, kelihatan bener-bener sedang berada di titik terlemahnya. Begitu pun Mama yang tak kalah sedihnya waktu itu. Gue masih kecil, gue juga ikutan nangis lihat semua orang nangis. Katanya, Kakek pergi jauh untuk selama-lamanya.

Di hari-hari berikutnya, Papa sama Mama kelihatan sedih banget, apalagi Nenek yang raut wajahnya makin tua. Makin kelihatan nggak ada semangat hidup. Nggak lama setelah kakek meninggal, Nenek ikut nyusul.

Lengkap sudah.

Kata Papa, mereka akhirnya bahagia di rumah Tuhan.

"Rumah Tuhan itu di mana, Pa?" tanya gue bingung. "Barra pengin jenguk Kakek sama Nenek."

"Jauh," jawab Papa. "Jauh banget. Kamu nggak bisa ke sana. Belum waktunya."

Gue nggak lagi banyak tanya ke Papa karena Mama ngelarang ngomongin tentang kepergian Kakek dan Nenek. Seiring berjalannya waktu, gue tahu arti kehilangan dan kepergian itu secara perlahan dan bersamaan.

Waktu menjadikan gue belajar menjadi dewasa.

Dan sekarang, cewek yang gue sayangi sedang merasakan kehilangan itu. Dia duduk sendiri di sana. Tatapannya kosong sejak kemarin malam pas dokter ngumumin tentang waktu kematian Om Wira. Dia sama sekali nggak nangis, tapi malah meracau nggak jelas terus-terusan.

Jujur, bulu kuduk gue berdiri. Merinding.

"Lo...." gue mengeluarkan suara pelan. Setelah lama memandanginya dari jauh, akhirnya gue mendekat dan duduk di sebelahnya. "Killa..."

"Eh, kamu," dia malah mengulas senyum tipis di bibir pucatnya itu buat gue. Makin menambah rasa khawatir di dada gue.

Gue menariknya dalam pelukan. "Nangis aja," bisik gue. "Yang kenceng."

Gue pengin denger dia nangis yang kenceng, kalau bisa di level tertinggi nangis yang dia bisa. Biar lega. Biar tatapan matanya nggak kosong lagi. Biar dia nggak ngerasa hampa.

Gue tahu, dia sedih banget. Tapi, dia malah kelihatan kayak orang yang kebingungan. Mungkin, Killa masih ngerasa ini seperti mimpi. Ya, namanya juga kematian. Nggak ada seorang pun yang tahu kapan datangnya.

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang