*26. Ikut Campur*

187K 14.4K 1.8K
                                    

Barra mendekati bangku Killa. Cewek itu terlihat pendiam sedari tadi. Saat pagi tadi diajak sarapan ke kantin pun, Killa tampak mengabaikan Barra. Makan dengan pelan tanpa menatapnya. Begitu pun sekarang.

Pelajaran Fisika baru saja usai, Barra ditugaskan untuk mengumpulkan buku tugas ke ruang guru.

"Nggak ke kantin?" tanya laper.

Killa menggeleng pelan sebagai jawabannya.

"Nggak laper?"

"Masih kenyang," jawab Killa dengan malas. "Kan, tadi udah sarapan."

"Iya, sih," Barra menyengir. "Ya, udah. Gue ngumpulin tugas dulu ke kantor."

"He'em," Killa berdeham lalu menelungkupkan kepalanya di antara lengan tangan di atas meja. Killa merasa bingung. Tidak ada teman curhat. Ratih hari ini tidak masuk sekolah. Pasti cewek itu masih shock. Ya, tidak mudah menghadapi masalahnya. Dan melihat Raden tampak biasa saja di hadapannya, membuat Killa mual. Geram yang tertahan.

Killa benci Raden karena perilakunya kelewat batas.

Tak lama kemudian, Barra kembali membawa selembar kertas lalu mengambil tempat duduk di samping Killa.

"Ada titipan nih dari guru BK," celetuk Barra sambil membaca lembar kertas di tangannya. "Astaga. Belum lo isi semua ini?"

"Apa?" tanya Killa tak mengerti. Ia malas mengangkat kepalanya dari atas meja. Sungguh, rasa malas yang amat besar itu menggerogoti tubuh Killa. Ingin rebahan saja di rumah, tapi harus sekolah. Daripada di rumah, adu argumen terus dengan sang ayah.

"Nih," Barra menyodorkan lembar kertas itu di hadapan Killa. "Hak angket. Belum lo isi."

"Oh, itu," desah Killa dengan santai. "Males, ah. Gue lagi males mikir, Barr."

"Gue tahu, lo itu bego. Yah, masak ngisi ginian aja pake mikir, sih," dengkus Barra lalu mengambil pulpen langsung dari kotak pensil Killa yang terbuka. "Ini itu bukan soal Matematika, Kill. Nggak perlu lo pikir dalem-dalem. Tinggal tulis apa yang lo pengin aja."

"Nggak ada yang bisa gue lakuin, Barr. Udah, ah!"

"Ini harus diisi!" tuntut Barra. "Bentar lagi kita ujian, lho."

Killa melengos. Menatap ke arah jam dinding. Jam istirahat masih tersisa sekitar 10 menit lagi. Lumayan. Killa memejamkan matanya, seolah-olah ia tengah terlelap.

Barra mengisi kolom data pribadi siswa. Ia isi dengan jelas nama lengkap Killa, tanggal lahirnya, kelas, nomor absen, nomor induk siswa, alamat lengkap. Semua itu Barra isi dengan detail, tanpa terlewat satu pun. Saat tiba di kolom pertanyaan, setelah lulus SMA mau ke mana?

Barra menatap Killa intens. Yang sedang ditatap diam saja.

Ada dua pilihan di sana, kerja atau kuliah. Dan Barra tidak bisa menebak apa keinginan Killa.

Barra mulai bingung, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jangan tidur. Bentar lagi bel masuk, Kill."

"Em, gue nggak tidur," Killa masih memejamkan mata, tapi bisa menyahuti perkataan Barra. Yang menandakan cewek itu tidak sedang tidur.

"Cita-cita lo apa?" tanya Barra hati-hati. Beberapa saat kemudian, ia menunggu respons dari Killa.

"Nggak ada," Killa membuka kelopak matanya lalu menegakkan tubuh. "Gue nggak punya cita-cita, Barr."

Barra menelan ludah dengan susah payah saat Killa mulai membahas isi kepala cewek itu.

"Gue bingung, setelah ini gue bakal kerja atau kuliah," ujar Killa dengan penuh kejujuran. "Terus gue sadar, harapan untuk hidup lebih lama di bumi ini aja nggak ada. Cepat atau lambat, gue cuma tinggal nunggu waktu buat dipanggil ke rumah Tuhan."

Kekesalan Barra selalu tersulut karena Killa menyinggung tentang kematin lagi dan lagi. Meskipun kali ini bahasa yang digunakan Killa lebih halus lagi.

Dengan tangan masih memegang pulpen, Barra memajukan wajahnya lalu mengecup bibir Killa. Suasana kelas tidak sepi, ada beberapa siswa-siswi yang keluar-masuk. Namun, untungnya teman-temannya itu sibuk sendiri. Tidak ada yang fokus pada bangku pojok- tempat duduk Barra dan Killa.

Dua bola mata Killa mendelik. Respons terkejut cewek itu memang agak lambat. "Barra!"

"Ngomong gitu lagi, siap-siap aja bakal dapet ciuman yang lebih lama," jelas Barra dengan santai. "Bukan sekadar kecupan biasa kayak gini. Tapi, french kiss."

"Hah? French kiss?" Killa memegangi dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Jangan ditanya lagi Killa segugup apa sekarang ini, sangat-sangat gugup.

"Lo nggak tahu french kiss?" Barra menaikkan sebelah alisnya. "Luar biasa."

"Gue tahunya fried chicken," celetuk Killa dengan tatapan polosnya.

"French, Kill! French! Bukan fried," Barra menggetatkan rahangnya.

"Em, beda ya?"

"Beda lah," jawab Barra. "Ntar aja gue ajarin. Sepulang sekolah. Karena di sini nggak aman."

Killa menutupi wajahnya karena malu. Tahu kalau Killa mulai tidak nyaman, Barra sedikit takut kalau cewek itu pingsan lagi. Maka dari itu, Barra mengambil botol minum yang ada di samping tas Killa.

"Minum dulu," ujar Barra seraya membukakan tutup botolnya.

Killa menerima botol itu lalu meneguknya sedikit demi sedikit.

Tanpa berpikir panjang, Barra mengisi hak angket Killa. Ia coret kolom kerja lalu mencentang kolom kuliah. Kemudian, Barra berpikir lagi. Jurusan apa yang cocok untuk Killa. Ia menatap Killa sebentar lalu terbayang jurusan yang cocok untuk cewek itu tekuni.

Sastra Indonesia.

Yap! Barra menuliskan jurusan itu di sana, tanpa persetujuan dari Killa.

"Barra, nggak usah diisi ih," keluh Killa tidak mau memikirkan masa depan. "Biarin aja kosong."

"Enggak!" sergah Barra. Tangan Barra dengan lihai mengisi hak angket itu lalu menyerahkannya pada Killa. "Lo tinggal tanda tangan aja di sini. Biar gue yang ngumpulin. Cepet!"

Killa membaca cepat isi formulir itu, keningnya berkerut dalam lalu makin memekik kaget saat membaca jurusan yang tertera di sana. Apalagi, Barra memilihkan salah satu universitas negeri yang cukup terkenal di kota mereka. Mimpi! Mimpi yang mustahil untuk bisa terwujudkan.

"Barra, nggak bisa gini. Ini terlalu nggak mungkin, Barr."

"Itu univ dengan PG paling kecil sih, setahu gue," Barra memiringkan kepalanya. "Kalau keterima, ya syukur deh. Kalau gagal, yah udah, Kill. Yang penting itu dicoba dulu."

Killa menatap Barra tajam.

"Lo mah nggak seru. Udah nyerah duluan sebelum mencoba," ujar Barra. "Dengerin gue, lo harus berani bermimpi. Apa pun itu!"

"Ntar gue kecewa, Barr."

Karena gue tahu waktu gue nggak lama lagi.

"Lo takut gagal?" Barra menggaruk alisnya. "Semua orang pernah gagal, Killa. Dan itu wajar. Ngapain lo takutin, hah?"

Killa mengembuskan napas. "Setiap hari gue selalu ketakutan, Barr."

Barra meraih tangan Killa. "Mulai sekarang, lo boleh ketakutan. Tapi, nggak dalam keadaan sendirian," jeda sebentar. "Ada gue."

Dan Barra sudah memutuskan untuk ikut campur. Nanti sepulang sekolah, ia akan mencoba membicarakan tentang penyakit Killa pada Atta. Meminta bantuan pada sang papa.

Barra sungguh ingin Killa bisa hidup lebih lama lagi. Sumpah!

------
A/n: Nunggu konfliknya Barra sama Killa, yak? Gimana sama konflik keluarganya Killa yang belum kelar. Huft.

Dari seorang perempuan yang lagi senyam-senyum nggak jelas.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Sabtu, 22 Februari 2020

BarraKillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang