Engagement

1.2K 107 3
                                    

      Terlanjur, itu kenyataan yang harus dihadapi Danurdara. Pesta pertunangan yang akan digelar seakan bukan untuknya. Pasalnya, semua keinginannya ditolak sang mama karena tidak sepadan dengan status sosial mereka. Ajeng dan calon mertuanya yang mengatur semuanya. Protesnya pada Dhimas pun ditanggapi ringan.

      "Mama hanya ingin membahagiakan kita, Sayang,"

      "Emang bahagia harus dengan kemewahan gitu!" Sahut sang gadis sinis. Dhimas tersenyum, dicoleknya hidung mancung sang gadis.

      "Dhimas, aku serius," laki-laki itu tergelak. Tanpa mempedulikan kejengkelan  Danurdara, gadis itu dipeluknya erat.

       "Setelah bertunangan nanti, aku mau kamu memanggilku Mas," bisiknya tepat di telinga calon istrinya.

       "Mas mahal!" sahut Danurdara acuh.

      "Aku bisa membelikanmu yang lebih mahal," bisiknya sambil menciumi leher Danurdara. Gadis itu mencoba menghindar tetapi gagal.

      "Kamu akan menjadi milikku, Sayang,"

      Jantung Danurdara berdetak lebih cepat, bisikan itu seperti sebuah ancaman untuknya. Penekanan kata yang diucapkan Dhimas membuatnya tidak nyaman. Dengan segala cara, Danurdara bisa menghindar dari laki-laki yang sekarang terlihat lebih menakutkan. Dhimas menatap kepergian sang gadis, senyuman aneh menghiasi wajahnya.

        Pesta pertunangan megah itu berhasil digelar di ballroom gedung milik keluarga Harsanto. Dekarosi didominasi warna putih, megah dan elegan. Kedua orang tua tersenyum bahagia, begitu juga dengan Dhimas. Prosesi sudah selesai, tamu undangan mulai menikmati hidangan yang tersedia. Dhimas memeluk pinggang Danurdara posesif, membawa calon istrinya berkeliling untuk diperkenalkan pada kolega-koleganya.

       "Senyum dong Sayang, dari tadi cemberut terus," bisik Dhimas melihat kekasih hatinya terlihat tidak bahagia. Danurdara menoleh, menatap laki-laki yang enam bulan lagi akan menjadi suaminya itu. Dhimas tersenyum manis, menutupi rasa jengkelnya.

      "Aku capek, mau istirahat," Dhimas mengangguk, perlahan Danurdara dituntun kembali ke kursi mereka. Setelah itu, Dhimas izin meninggalkan calon istrinya untuk bergabung dengan teman-temannya.

      Danurdara memandang sekeliling, begitu banyak tamu undangan Saras tidak ada di sana. Sahabatnya itu benar-benar menjalankan ancamannya untuk tidak hadir. Gadis itu mendesah, hari ini seperti bukan miliknya.

                       ***
     "Bener-bener bajingan tu cowok!" Saras mengumpat gusar.

      "Siapa Ras?" Tanya temannya.

       "Tuh, playboy cap kambing," dagunya menunjuk ke arah sepasang anak manusia yang duduk di sudut restoran, tempat dia dan temannya makan siang. Kedua tangan bertautan mesra di atas meja, si laki-laki sesekali membelai rambut sang gadis.

      "Lo kenal?" Saras mengangguk, dadanya bergemuruh memahan marah. Diambilnya gawai yang tergeletak di atas meja, dengan cepat dia mengambil beberapa gambar pasangan itu.

      "Balik yuk?" Ajaknya berdiri.

      "Lo mau samperin?"

      "Gak penting," Tanpa menunggu temannya Saras melangkah keluar. Tangannya sibuk mencari kontak yang akan dihubungi. Gawai sudah menempel ditelinganya.

       "Halo, Lo di mana?" Tanyanya tanpa basa basi mengucap salam.

       "......"

       "Entar malam gue ke kafe, tunggu ya?" 

      "......"

     "Ya udah entar aja. Oke, gue balik ke kantor," Seperti tadi tanpa menunggu jawaban sambungan telpon sudah dimatikan. Begitu masuk mobil, gawai langsung dilempar ke bangku belakang.

      "Hei, kenapa sih! Emang doi siapa? Cowok yang lo taksir?"

      "Amit-amit, jangan sampai gue suka sama cowok flamboyan macam dia," teriaknya emosi.

      "Terus..."

       "Udah jalan aja, balik ke kantor!"

        "Oke, tapi gak pake teriak-teriak ya. Gue butuh konsentrasi," Saras mengangguk. Mobil berjalan meninggalkan tempat itu.

       Seperti janjinya, pulang kerja Saras membawa kendaraannya ke kafe sahabatnya. Danurdara menyambut kedatangannya dengan senyum cerah.

        "Ada apa sih, kok cemberut aja. Capek ya?" Sapa sang tuan rumah  ramah, dipeluknya sahabatnya hangat. Saras tersenyum kecut.

      "Ke atas saja yuk? Lo mau makan apa?"

      "Biasa aja," sahutnya enggan. Danurdara mengacungkan jempolnya tanda setuju.

      "Yan, minta lemon tea dua sama nasi goreng jadoel. Bilang Bang Raja, buat mbak Saras. Oke?"

      "Siap Mbak Bos,"  jawab Yanuar.

      "Kebiasaan," omel Danurdara bergegas menyusul Saras yang sudah menghilang. Sahabatnya sudah tertidur santai di sofa panjang. Danurdara hanya bisa geleng-geleng kepala.
                     ***

Nah lho.. siapa itu?  Semakin panas ya...
Pemasaran? Tunggu update entar malam, hari ini harus double update.

Salam literasi

     

       

All About Danurdara (LENGKAP Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang