Crashing (2)

824 79 1
                                    

        "Mungkin ada keluarga lain yang bisa diminta menjadi donor, sebelum kita mencari dari luar. Donor terbaik adalah keluarga sendiri," Pernyataan terakhir sang dokter menjadi pemikiran Bagus dan Ajeng.

        Ajeng tidak mempunyai banyak saudara, dia anak tunggal, dalam keluarganya tinggal ada ayahnya. Hanya ada beberapa sepupu, itu pun hubungan mereka tidak dekat.

        Masalah bisnis keluarga menjadi penyebab retak hubungan mereka. Kenekatannya menikahi Bagus, yang dipaksakan menjadi penerus usaha ayahnya membuat mereka marah. Bahkan ketika Bagus sudah meninggalkan perusahaan, mereka tetap tidak berubah.

        Siapa yang bisa dimintai tolong untuk menjadi donor? Ayahnya tidak mungkin, selain sudah berumur, golongan ayahnya pasti berbeda dengan Hayu.

        "Mas, bagaimana ini?" Tanyanya pada Bagus yang masih terdiam di depan dokter Bayu.

         "Nanti kita pikirkan," sahutnya pendek.

         "Baik Dok, kami mencoba mencari donor dari anggota keluarga. Terima kasih atas penjelasan Dokter," ujar Bagus akhirnya meski tidak tahu kepada siapa dia harus meminta tolong.

        Keluarganya tidak jauh berbeda dengan keluarga Ajeng. Mereka marah dengan keputusan konyolnya meninggalkan Adriani. Hanya niat baiknya mencari istri dan anaknya beberapa tahun ini, membuat mereka sedikit melunak.

        "Lebih cepat lebih baik Pak. Saya tunggu kabar dari keluarga," pesan dokter itu sebelum mereka keluar dari ruangannya.

         Bagus dan Ajeng berjalan berdampingan dalam diam menuju ruang rawat Hayu. Keduanya bergumul dengan pikirannya masing-masing.

        "Ma, jangan bicara apa pun di depan anak-anak. Aku akan mencari jalan keluar," kata Bagus kepada istrinya sebelum masuk.

        "Apa rencana Mas?" Tanya Ajeng sambil menatap suaminya rindu.

       Ingin rasanya memeluk suami yang sangat dicintainya itu, yang akan menguatkan hatinya. Sayangnya itu hanya keinginan sepihaknya, sikap Bagus tidak pernah baik lagi padanya.

        "Entahlah, masih belum tahu mau apa. Setelah ini aku harus pergi bertemu seseorang,"

        Bagus berpikir untuk bertemu dengan Bima, hanya nama itu yang terlintas dipikirannya. Orang yang tidak harus dicarinya karena laki-laki muda itu ada di kamar Hayu saat mereka masuk.

         Bima dan Dara duduk tanpa suara di sofa, dengan mata menatap lekat ke arah Hayu yang tertidur. Tangan mereka saling berpegangan. Bagus mendesah pelan, aktivitas yang membuat Ajeng menoleh. Disampingnya suami menatap kedua anak muda itu dengan pandangan aneh.

        "Pa, Ma, apa kata dokter. Hayu tidak apa-apa kan?" Serbu Danurdara berdiri menyambut kedua orantuanya.

       Bima ikut berdiri di tempat, kali ini matanya tidak lepas dari perempuan di sebelah ayahnya. Perempuan bergaya glamour yang sudah mengambil ayahnya dari dirinya.

         "Ssstt, jangan berisik nanti adikmu bangun," bisik Bagus lirih.

        Bagus memeluk putrinya dengan sayang, lalu membawanya kembali ke sofa. Ajeng mengikuti langkah suami dan anaknya. Matanya menatap laki-laki muda tampan yang tadi dipergokinya memegang tangan Dara.

         "Ma, kenalkan ini Bima. Dia..." Bagus memperkenalkan Bima dengan wajah bingung.

        "Saya Bima teman Dara," potong Bima menyelamatkan kebingungan ayahnya. Bagus menghela napas lega.

        "Saya mamanya Dara, silakan duduk. Maaf, harus kita harus bertemu di tempat seperti ini," sapa Ajeng ramah,  menyambut uluran tangan laki-laki muda itu.

        Bima terpaksa tersenyum meredam marah yang lama disimpannya dalam hati. Situasinya tidak memungkinkan baginya untuk melepaskan kemarahannya.

        Dara dan Bima kembali duduk, Bagus ikut duduk di dekat mereka. Ajeng masih berdiri, lalu mendekati Hayu yang masih tidur.

       Sejenak perempuan itu hanya memandangi putrinya, membetulkan posisi selimutnya, mengecek infus yang mengalir masuk ke dalam tubuh sang putri. Kekuatiran terlihat jelas di wajah cantiknya.

        Kehangatan mengalir di hati Bima, seperti itulah ibu setiap dia sakit. Menjaganya tanpa memikirkan dirinya sendiri. Ibu maaf, Bima ada di sini sekarang. Bersama Bapak dan keluarganya.

        "Bim, Bapak bisa bicara sebentar di luar?" Ajakan Bagus membuyarkan lamunan putranya.

                      ***
       

       

       

All About Danurdara (LENGKAP Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang