No Tolerance

1.1K 113 0
                                    

       Pembicaraan terhenti, Hanum tidak sanggup berkata-kata lagi. Sebagai seorang ibu, dia masih tidak terima anaknya dipermalukan seperti itu. Tetapi siapa yang mempermalukan siapa, jelas-jelas Dhimas melakukan semuanya itu sendiri.

        "Tentang barang-barang lamaran yang sudah diberikan, akan kami kembalikan nanti,"

        "Maaf Mas Bagus, apakah tidak bisa dibicarakan baik-baik," sela Harsanto menjeda penjelasan calon besannya yang terancam gagal.

        "Sayangnya tidak," sahut Bagus pendek.

        "Dhimas mencintai Dara Mas, tolong dipertimbangkan lagi," mohon Hanum. Bagus tersenyum sinis.

        "Kalau cinta, Dhimas tidak akan menyakiti anakku. Dara tidak bisa menerima penghinaan yang dilakukan Dhimas, gadis yang diajaknya tidur itu karyawan kafe. Mereka sudah sering memamerkan kemesraan bahkan saat di kafe, di hadapan Dara dan karyawan lainnya. Inikah yang disebut cinta?" Sahutnya perih.

         "Apa Mas? Karyawan kafe?" Suara Hanum melengking marah.

         Sungguh harga dirinya pun terkoyak, anak laki-laki kebanggaannya mempermalukan dirinya dan keluarga besarnya hanya karena seorang pelayan kafe.
Apa yang harus dia katakan kepada saudara dan kolega yang turut menyaksikan pertunangan megah anaknya,

        Dara, apa yang harus dia lakukan untuk menyakinkan gadis itu? Hanum menyukai Dara yang sederhana, mandiri, dan tidak neko-neko. Calon mantu impian, yang diharapkannya bisa mendampingi Dhimas yang kadang lepas kendali.

        Sangat wajar, Dara memutuskan pertunangan dengan putranya yang tidak bertanggungjawab. Sebagai perempuan, Hanum bisa merasakan luka yang dialami calon menantunya, dan tetap ingin menjadikannya menantu.

        "Saya rasa cukup, saya mohon pamit. Maafkan atas  kesalahan dan ketidaksopanan saya, istri dan Dara. Terima Mas Harsanto dan Mbak Hanum, sudah menerima dengan baik," Bagus berdiri, menunduk hormat pada laki-laki berkacamata di depannya,  yang kehilangan kemampuan untuk bicara. Hanum menepuk tangan suaminya yang masih diam di kursinya.

        "Oh, maaf Mas Bagus, saya...."

        "Ada apa Ma, Pa?" Kalimat Harsanto terpotong dengan kehadiran Dhimas. Semua mata beralih memandang laki-laki muda yang tampak kusut. Harsanto berdiri tegak, secepat kilat menghampiri Dhimas. Tanpa mampu mengantisipasi situasi, sebuah pukulan langsung bersarang di wajah ganteng pemuda itu. Tubuh Dhimas terdorong mundur, Harsanto terus memukul.

        "Pa, jangan!" Hanum berteriak histeris. Harsanto tidak juga menghentikan pukulannya. Bagus seketika sadar dan ikut menahan tindakan brutal sang tuan rumah.

        "Sabar Mas, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah," Tubuh kekar Harsanto ditahannya kuat-kuat, laki-laki itu melawan hendak melepaskan diri..

          "Biar kubunuh saja sekalian anak tidak tahu diri itu Mas. Memalukan, laki-laki bejat. Dari mana dia belajar menjadi laki-laki tidak bertanggung jawab," emosi Harsanto tidak terbendung lagi.

        "Papa sadar, Dhimas anakmu sendiri!" Hanum kembali histeris.

        "Aku tidak pernah mengajar anakku jadi pengecut!" Matanya nyalang menatap anaknya yang terduduk di sudut ruang tamu dengan wajah babak belur.  Hanum memeluk anaknya sambil menangis.

        Dara yang baru masuk karena mendengar teriak, terpana di depan pintu. Gadis itu sama sekali tidak menduga Harsanto akan bereaksi seekstrim itu pada darah dagingnya sendiri.

         "Tenang Mas, kita bicara baik-baik," kata Bagus kembali menenangkan.

         "Apalagi yang harus dibicarakan, jelas-jelas Dhimas melakukan perbuatan memalukan itu. Dara tidak akan sudi menerimanya lagi," Harsanto mendengkus.

         Menyadari kehadiran gadis yang dicintainya, Dhimas melepaskan pelukan ibunya.

         "Dara, maafkan aku. Aku dijebak, Tasya sengaja memisahkan kita," mohonnya memeluk kaki gadisnya. Diabaikannya darah yang mengalir di bibir bawahnya, Dhimas hanya butuh gadisnya mengerti.

          "Mas mencintaimu Ra, beri mas kesempatan sekali lagi. Mas janji hal bodoh itu tidak akan terulang lagi," janji Dhimas yang hanya ditanggapi dengan senyum sinis.

        Hal bodoh yang kamu lakukan sudah membuatku tidak percaya lagi, jawabnya dalam hati.
                       ****

Kata orang, menghajar kadang perlu dilakukan untuk kebaikan.. hiks pembenaran diri.
Bagaimana nasib Dhimas selanjutnya?

Nantikan besok ya..

Salam literasi

All About Danurdara (LENGKAP Alias Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang