Part 1: Sembilu

1.5K 41 1
                                    

"Lihatlah, gara-gara kau, mamak jadi sakit. Makanya kau cepat menikah. Jangan suka milih-milih, nanti jadi perawan tua!" Dia berkata dengan wajah kesal.

Tidak ada senyum sedikitpun. Aku tidak ingat kapan terakhir kali melihat senyum di wajahnya. Dia memandangku, seakan aku seorang tersangka yang telah melakukan kejahatan berat dan dialah hakimnya. Dia memutuskan aku bersalah, bahkan sebelum aku bisa membela diriku.

Aku hanya terdiam dan tertunduk sambil menahan sesak di dada. Rasa sesak itu hampir saja mengalirkan air bening di pelupuk mataku yang sudah memerah.

Tidak, jangan sekarang. Aku tidak boleh menangis. Tahan. Kau harus kuat Rysha, jerit suara batinku. Aku menarik nafas panjang, menghitung sampai tiga dan menghembuskannya perlahan. Cara yang cukup ampuh untuk menahan emosi dan sesak di dada.

Kupandangi wanita tua yang rambutnya sudah memutih itu, dia terbaring tak berdaya. Wanita yang sudah berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkanku ke dunia ini. Wanita yang kini wajahnya sudah keriput. Ada air bening mengalir dari kelopak matanya. Dia mendengar semua percakapan kami. Tentu saja dia dengar, bahkan semua orang dalam ruangan di rumah sakit ini bisa mendengarnya. Bagaimana suara laki-laki itu begitu keras menghakimiku. Pada detik itu, rasa bersalah menguasaiku. Benarkah wanita yang sangat kucintai itu sedang menderita karena diriku?

"Kau lihat adik ipar, Uda. Dia menikah dengan orang yang hanya kerja di bengkel. Buktinya, sekarang hidupnya bahagia. Apalagi yang kau tunggu. Menikah dengan siapa saja, jangan pilih-pilih. Mamak itu terlalu banyak memikirkan kau, makanya sakit." Lagi-lagi dia menghakimiku tanpa rasa kasihan sama sekali.

Aku hanya mampu duduk dalam diam disamping ranjang ibuku, yang kami panggil mamak. Selang infus masih menancap di pergelangan tangan kanannya. Sedangkan sebuah perban besar membalut telapak kaki kirinya.

"Mau sampai tua seperti ini? Siapa yang akan merawat kau nanti? Kau bukan tanggung jawab Uda. Tanggung jawab Uda cuma anak, istri dan orang tua." Laki-laki yang menyebut dirinya "Uda" tersebut berkata dengan tegas.

Aku tersentak kaget. Siapa yang meminta pertanggung jawabannya? Aku berusaha membuka mulut untuk bicara, tapi gagal mengeluarkan sepatah kata. Ucapannya bagai seribu anak panah yang melesat tepat menembus ulu hatiku. Sakit. Perih, tak terkata.

Pantaskah dia mengatakan semua itu kepada adik kandungnya sendiri? Adik perempuan satu-satunya. Adik perempuan yang selalu memujanya. Hatiku menjerit. Sudah cukup. Aku tidak kuat lagi menerima kata-katanya. Laki-laki ini, bukan lagi laki-laki yang penuh kasih sayang, seperti yang kukenal, bertahun-tahun yang lalu.

Dia tidak menghargai perasaanku sama sekali. Di dalam ruangan ini bukan hanya kami bertiga. Ada empat tempat tidur pasien yang semuanya berpenghuni. Ditambah lagi keluarga pasien yang duduk menemani mereka. Hanya tirai kain yang memisahkan tempat tidur pasien di rumah sakit ini. Aku yakin, mereka semua bisa mendengarkan percakapan kami. Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Ingin rasanya aku memaki laki-laki tersebut dengan kata-kata paling kasar yang kumiliki. Kalau saja tidak ada ibuku di sini.

Aku harus pergi, sebelum semuanya terlambat, batinku.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang