Part 75 : Pak Dosen

135 10 0
                                    


Handoko Prastyo, laki-laki tinggi berkulit hitam manis itu menatapku dengan pandangan geli, seulas senyum sinis terukir dari bibir tipisnya. Hanya aku yang memanggilnya dengan nama "Pras", panggilan kesayangan untuknya.

Handoko terlihat jauh lebih tua dari usianya, apalagi dengan janggut, kumis dan rambut yang memutih. Aku tidak yakin kalau itu semua nyata, mungkin dia sengaja mengecatnya untuk penyamaran. Handoko yang kukenal, memiliki rambut hitam pekat dengan wajah klimis.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Apakah kau heran melihat penampilanku? Kau pasti terkejut karena aku ada di sini, iya kan?" tanya Handoko sambil memainkan topi jerami di tangannya.

"Kau sudah merencanakan ini semua, bukan? Kau menyamar dengan rambut putih itu. Kau mengirimku SMS dan surat kaleng, sehingga aku terpancing untuk datang ke sini. Ahh ... seharusnya aku tahu bahwa ini semua perbuatanmu. Kau tahu semua kisahku dengan Aldo," kataku dengan nada menyesal.

Dia pun tertawa lebar, menampilkan gigi putihnya yang berbaris rapi. Sambil menggelengkan kepala Pras berkata, "aku harus akui, kau perempuan yang cerdas. Bagaimanapun sudah terlambat, Sha. Kau masuk dalam perangkapku."

Aku pun tersenyum sinis, menatapnya tanpa berkedip. "Jadi selama ini kau memata-mataiku. Menguntitku dan mencari kesempatan untuk menculikku. Kenapa kau lakukan semua ini? Bukankah hubungan kita sudah lama berakhir? Bukankah kau sudah menikah dan hidup bahagia?"

Senyum itu pun hilang dari wajahnya. Handoko menatapku dengan tajam, mata itu berubah penuh duka sekaligus amarah. Beberapa menit lamanya dia terdiam hingga akhirnya dia berdiri dan melangkah ke pintu.

"Aku akan membuatkanmu sarapan," katanya sambil membuka pintu. Namun tiba-tiba dia berhenti dan segera menghampiriku. Dengan sapu tangan dari saku bajunya, dia menyumpal mulutku sehingga tidak bisa berbicara. Pemberontakanku, berakhir sia-sia.

"Ahh ... aku hampir lupa. Walaupun tempat ini jauh dari rumah penduduk dan sangat jarang orang datang ke sini, tetap saja aku tidak mau mengambil resiko," katanya sambil berlalu dan menutup pintu. Aku hanya bisa menatap punggungnya dengan penuh tanda tanya.

***

Kisah cintaku dengan Handoko memang tidak sampai setahun lamanya. Setelah kematian Aldo, butuh waktu tiga bulan bagiku untuk menyembuhkan cedera fisik, tetapi trauma itu terus membekas dalam hati. Rasa bersalah dan berdosa, terus menghantui, membuatku bermimpi buruk sepanjang waktu.

Aku menjadi sangat tertutup dan pendiam, bahkan tidak berani bicara kepada siapa pun. Melihat kondisi seperti ini, orang tua menjadi cemas dan akhirnya meminta bantuan Arina. Dia membawaku menemui dokter Dini, kakak kelas kami semasa SMA yang sekarang sudah menjadi seorang psikiater. Dengan bantuan dokter Dini, aku bisa melewati masa-masa sulit tersebut.

Untuk melupakan semua kenangan buruk dan trauma itu, aku memutuskan pindah ke Jakarta. Shifa, dengan senang hati menerimaku untuk kerja di kantor akuntan publik milik kakaknya. Aku pun mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan sekaligus kuliah di malam hari pada sebuah universitas swasta. Di sanalah aku bertemu dengan Handoko yang bekerja sebagai dosen. Kisah cinta kami pun di mulai.

***

Handoko Prastyo, dosen yang cerdas dan berasal dari keluarga yang berada. Penampilannya yang klimis dan rapi disertai sifat ramah dan murah senyum, membuat banyak mahasiswi terpesona. Apalagi statusnya yang masih lajang di usia mendekati empat puluh tahun.

Banyak rumor yang beredar tentang Handoko. Ada yang mengatakan dia pernah patah hati, sehingga belum mau menikah sampai sekarang. Ada rumor lain bahwa Handoko ternyata seorang playboy dan sering gonta ganti pacar. Namun ada juga yang mengatakan kalau dia penyuka sesama jenis, walaupun untuk rumor yang satu ini, aku sama sekali tidak percaya.

Pada awalnya, aku sama sekali tidak peduli. Aku bukan termasuk mahasiswi yang suka bergosip atau menarik perhatian sang dosen. Pekerjaan pada siang hari, sudah cukup membuatku lelah. Aku hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan cepat sehingga bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. Namun ketidakpedulian tersebut, justru membuat Handoko memperhatikanku.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang