Part 82 : Putus

138 14 0
                                    


Hari-hari di penghujung bulan ramadan, semua orang bersuka cita menyambut datangnya lebaran. Bukankah aku juga seharusnya bahagia? Walau cobaan datang silih berganti dalam beberapa bulan terakhir, aku yakin ada hikmah di balik semua itu. Mungkin Tuhan ingin menjadikanku wanita yang lebih kuat dan memberikan jodoh yang terbaik.

Pernikahan yang batal ini, bukanlah sesuatu yang baru. Aku pernah gagal dengan Aldo, kemudian Handoko dan sekarang Andika. Mungkin mereka semua bukan yang terbaik untukku. Bukankah apa yang kita sangka baik, belum tentu baik di mata Tuhan?

Aku berjanji pada diri sendiri, tidak akan ada lagi air mata. Tidak perlu menangisi sesuatu yang belum kita miliki. Setelah banyak mengalami kehilangan dalam hidup, pembatalan pernikahan ini bukanlah apa-apa. Aku pasti bisa melewati semua ini, seperti aku menghadapi trauma setelah kecelakaan tersebut.

"Sudah bangunn, Sha?" Suara bapak terdengar seiring ketukan di pintu.

"Iya, Pak," jawabku sambil membuka pintu.

Wajah laki-laki tua tersayang itu tersenyum. Semenjak peristiwa tadi malam, bapak tidak lagi membahas tentang Andika, tetapi aku tahu bahwa dia akan selalu ada untukku.

"Kau sudah terlihat lebih baik. Itu bagus. Anak gadis Bapak harus kuat dalam menghadapi apa pun," katanya sambil mengamati wajahku.

Aku pun tersenyum. "Tentu saja. Aku anak Bapak dan Mamak. Aku baik-baik saja, Pak."

"Ya. Kau akan baik-baik saja," kata Bapak, "bersiaplah! Kita akan pergi ke kuburan ibumu," lanjutnya.

Aku mengangguk. Hujan telah berhenti, saatnya kami mengunjungi Mamak. Sudah menjadi tradisi, ahli waris membersihkan kuburan keluarganya sebelum ramadan and lebaran. Tidak terasa, sudah lebih satu bulan, Mamak meninggalkan kami. Sungguh, aku sangat rindu padanya.

***

Siang ini, aku sendirian membersihkan rumah. Ni Lisa dan Da Ip pergi ke pasar untuk belanja keperluan lebaran. Sedangkan Bapak pergi ke rumah tetangga yang baru saja meninggal dunia, satu jam yang lalu.

Setelah membersihkan ruang tamu, aku beranjak membersihkan kamarku. Mengubah tata letak barang biasanya bagus untuk membangkitkan mood yang lagi turun. Tanpa sengaja, tanganku menyentuh plastik yang berisi undangan pernikahan di bawah tempat tidur. Aku menatap undangan tersebut beberapa saat sambil tersenyum kecut. Undangan yang telah kami buat dan pesan sebelum ibuku meninggal.

Undangan ini sudah mengalami perbaikan untuk tanggal pesta dan pernikahan, tetapi sampai sekarang tetap tidak bisa disebarkan. Kata-kata Mak Ros tadi malam, kembali terngiang di telingaku. Tuduhan dan hinaan itu, sangat menyakitkan bagiku dan keluarga. Mungkin ini adalah takdirku dan Andika untuk tidak bisa bersama.

Tiba-tiba suara bel membuyarkan lamunanku. Aku terkejut ketika melihat wajah Andika yang muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sangat lelah dan muram. Aku menatap laki-laki itu dengan ekspresi sedingin salju.

"Sha, aku coba menghubungimu berkali-kali. Aku tahu kau pasti sangat marah. Percayalah, aku sama sekali tidak tahu tentang itu semua. Dia tidak memberitahuku sebelumnya. Kau harus percaya," kata Andika.

"Apakah kau yang memberitahu ibumu tentang Aldo?" tanyaku dengan dingin.

"Tidak. Aku bahkan tidak tahu, bagaimana ibu bisa mengetahui hal itu," jawab Andika.

"Apakah kau sudah bertanya pada ibumu? Apakah kau sudah tahu apa saja yang dia katakan tadi malam ketika membatalkan pernikahan kita?" Aku menatap Andika dengan tajam.

"Ya. Namun dia tidak mau memberitahu dari mana informasi yang menyesatkan tersebut," kata Andika dengan wajah menyesal.

"Kalau begitu, kenapa kau datang ke sini? Bukankah semuanya sudah jelas? Ibumu mengatakan kalau dia tidak mau mempunyai menantu seperti aku dan kami sudah menerima keputusannya," kataku dengan suara bergetar.

"Sha, ini semua hanya salah paham. Aku akan bicara lagi dengan ibu. Aku yakin seseorang pasti sudah memfitnahmu. Walau nanti ibu tidak setuju, aku tetap akan menikahimu."

Aku pun tersenyum sinis. "Maaf, aku tidak bisa. Sebaiknya kau pergi, sebelum Bapak dan Da Ip balik ke rumah."

Andika menarik napas panjang. "Tidak apa-apa. Aku akan menunggu Bapak. Aku akan terima walaupun harus di caci atau dipukul, ini semua salahku."

"Pulanglah. Aku tidak mau keluargaku masuk penjara hanya karena memukulmu. Ibumu pasti akan mengadukan mereka. Sebaiknya sekarang kembalilah ke ibumu. Mungkin ini yang terbaik bagi kita," ujarku pelan sambil menutup pintu.

Beberapa menit lamanya Andika masih berdiri di depan pintu rumahku, sampai akhirnya dia pun pergi. Aku menatap kepergian Andika dari balik jendela. Air mata perlahan jatuh ke pipi, aku menghapusnya dengan satu tangan. Bagaimana air mata ini bisa datang lagi?

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang