Part 80 : Genderang Perang

135 11 0
                                    


Aku menarik napas panjang dan mengumpulkan semua ketenangan yang kumiliki. Putri terlihat sangat sibuk melayani kami semua. Dia bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk membantunya. Andika terlihat serba salah dengan kedatangan tamu tidak undang ini. Sedangkan Mak Ros, terlihat tidak masalah dengan kehadiran Putri di antara kami. Putri mengaku sebagai sahabat Andika, sekaligus teman baikku.

Aku segera berdiri dan mengangkat piring ke dapur, tetapi Putri segera mengambil piring dari tanganku dengan tersenyum manis.

"Tidak perlu repot, Kak. Biar aku saja yang cuci piring," katanya sambil melangkah ke dapur.

Mak Ros menatap Putri dengan tersenyum.

"Dia rajin sekali ya. Dari tadi sore bantu Mamak di dapur. Cantik, baik dan rajin," puji Mak Ros.

Seketika dadaku bergemuruh. Ternyata inilah tujuan Putri datang ke sini, dia ingin mengambil hati ibu Andika. Setelah tidak berhasil merayu anaknya, sekarang mencoba mendekati ibunya. Aku bisa saja menunjukkan rasa tidak suka secara terang terangan, tetapi ini bukan rumahku. Tidak seharusnya ada keributan yang bisa membuat malu keluarga Andika.

Gadis yang pintar dan licik, batinku.

Putri tidak masuk kantor hari ini. Namun dia malah bisa mampir ke rumah Andika pada saat yang sama dengan kehadiranku. Apakah ini di sengaja? Apakah mungkin Andika juga mengundangnya?

"Ya, gadis ini sangat rajin. Aku tidak tahu kalau Andika juga mengundangnya ke sini," kataku sambil melirik Andika.

Wajah Andika seketika berubah. "Aku tidak mengundangnya. Aku bahkan tidak tahu kenapa dia datang hari ini," kata Andika.

"Eh, tidak apa-apa. Mak malah senang kalau ada teman Andika, Bagas atau Angga yang datang buka puasa bersama. Tamu itu pembawa rejeki," ujar Mak Ros.

Aku hanya tersenyum. Tamu yang ini akan bawa petaka, batinku.

"Aku ke dapur dulu ya, Mak. Tidak baik membiarkan dia bekerja sendiri." Aku meminta izin kepada Mak Ros yang mengangguk setuju.

Putri sedang sibuk dengan piring kotor yang menumpuk di dapur. Aku mulai membantu dengan menyusun piring yang sudah bersih ke tempatnya.

"Tidak perlu, Kak. Aku bisa kerjakan sendiri," kata Putri.

Aku pun mendekati Putri dan berbisik, "usaha yang bagus. Apakah dengan cara ini kau akan mendapat cinta Andika?"

Dia pun berhenti bekerja dan tersenyum licik. "Ini belum apa-apa. Aku baru saja mulai, Kak."

"Kau tidak akan punya kesempatan. Bukankah sudah kukatakan untuk tidak merendahkan dirimu sendiri?" balasku sambil berbisik.

"Cintaku tidak akan membuatku menjadi rendah. Masih ada satu bulan lagi, angin keberuntungan bisa jadi akan memihak kepadaku."

Mata kami pun saling bertemu, genderang perang itu semakin terdengar nyaring di telingaku. Kalau saja tidak memikirkan kehormatan keluarga ini, aku pasti sudah memberi pelajaran pada gadis tidak tahu malu ini.

"Kenapa berbisik-bisik? Pekerjaannya sudah selesai?" Tiba-tiba Mak Ros muncul di pintu dapur sambil menenteng dua buah rantang di tangannya.

"Hampir selesai, Mak. Kerja berdua lebih baik dari kerja sendirian, iya kan, Kak?" kata Putri yang tersenyum manis. Aku pun membalas senyumannya sambil mengangguk.

"Baguslah. Mak senang, kalian berdua sudah membantu tugas Mak. Ini ada makanan untuk sahur nanti, jadi tidak perlu masak lagi di rumah," ujar Mak Ros sambil meletakkan dua rantang ke atas meja. Kami berdua mengangguk secara bersamaan.

"Oh ya, Mak sudah meminta Andika untuk mengantarkan Putri pulang. Kasihan, pulang sendirian naik angkot, apalagi sudah malam. Gak apa-apa, kan Rysha?" tanya Mak Ros.

"Oh, gak apa-apa Mak. Aku juga bawa kendaraan sendiri," jawabku. Sementara Putri tersenyum penuh kemenangan.

"Bagaimana? Kamu mau pulang sekarang?" Andika muncul bersama Bagas yang sudah siap memakai jaket.

"Iya, Bang. Aku sudah siap," jawab Putri dengan wajah senang.

"Baguslah. Bagas akan mengantarkanmu pulang," jawab Andika dengan wajah dingin.

"Kok, Bagas? Dia 'kan tidak tahu rumahku," jawab Putri.

"Kamu 'kan bisa menunjukkan jalannya. Cepatlah! Bagas juga mau salat tarawih," perintah Andika.

Seketika wajah Putri terlihat kesal dan aku pun tersenyum senang. Mungkin angin keberuntungan masih berpihak kepadaku.

***

Setelah kejadian malam itu, aku dan Andika sempat bertengkar. Dia bersikeras mengatakan tidak pernah mengundang Putri ke rumahnya. Aku hanya mengingatkan Andika bahwa kami berdua belum menikah, seharusnya kami lebih berhati-hati dan bisa menjaga diri dari segala godaan serta fitnah.

Ujian sebelum menikah itu memang nyata adanya, termasuk godaan dari orang ketiga. Aku berusaha bersikap tenang dan tidak memancing keributan dengan Putri, apalagi di bulan ramadan. Aku tidak mau memberikannya alasan untuk menfitnahku di hadapan keluarga Andika terutama Mak Ros.

Selama bulan ramadan ini, aku lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah. Bahkan pertemuan dengan Andika juga aku batasi, biarlah kami mengambil masa tenang selama bulan puasa ini. Tidak ada lagi yang perlu didiskusikan karena semua persiapan untuk pernikahan sudah selesai, bahkan sebelum kepergian ibuku.

Beberapa hari menjelang lebaran, pada ramadan akhir, Tuhan memberiku ujian yang lain.

"Mak Ros mau datang malam ini, Andika ada memberitahu Rysha?" tanya Ni Lisa.

Aku menatap Ni Lisa dengan pandangan heran. "Tidak. Memangnya ada apa, Ni?"

"Lho, Uni juga tidak tahu. Dia menelepon Uni, meminta keluarga besar juga hadir. Katanya ada yang mau dibicarakan tentang pernikahan kalian," jawab Ni Lisa.

Kami sudah menentukan untuk menikah satu minggu setelah lebaran, sesuai kesepakatan sebelumnya. Bahkan undangan pun sudah diperbaiki dan akan disebarkan setelah lebaran. Menurutku, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

"Kenapa Andika tidak memberitahuku? Haruskah aku meneleponnya?" tanyaku.

Ni Lisa tersenyum. "Tidak perlu. Dia pasti juga akan hadir malam ini. Kita persiapkan saja segala sesuatu untuk menyambut mereka."

Aku hanya mengangguk setuju.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang