Part 5 : Sepi

486 25 0
                                    

Rumah yang kosong membuat hatiku nelangsa. Apalah artinya sebuah rumah, kalau di dalamnya tidak ada seorang wanita yang bernama ibu. Kami memang hanya tinggal bertiga di rumah ini. Biasanya ibuku yang membukakan pintu dan menyambut kedatanganku. Pekerjaan sebagai penyiar membuatku kadang harus pulang pada malam hari. Setiap terlambat, ibu selalu meneleponku, memastikan aku baik-baik saja.

Sebelumnya, aku hampir tidak pernah memasak karena kesibukanku. Ibukulah yang memastikan bahwa makanan selalu tersedia di meja makan untukku. Tetapi semenjak ibuku sakit-sakitan, aku dan bapak selalu bergantian memasak dan menjaga ibu.

Bapakku seorang laki-laki yang sangat mandiri dan hampir tidak pernah mengeluh. Dia mencuci dan menggosok pakaiannya sendiri. Kadang dia ikut memandikan dan mengganti diaper ibu, ketika aku dan iparku tidak sempat melakukannya. Dalam hati aku sering berdoa, agar bisa mendapatkan seorang suami seperti bapak.

Sebagai anak perempuan tunggal di keluarga, aku tidak pernah bermanja. Dari kecil ibu sudah mengajariku untuk menjadi kuat dan tidak menggantungkan hidup kepada orang lain. Karena itu, aku ikut bela diri taekwondo sejak duduk di bangku SMA.

Semenjak menamatkan kuliah dan mendapatkan pekerjaan, aku tidak pernah menadahkan tangan lagi kepada orang tua. Dulu aku punya pekerjaan yang cukup bagus di sebuah kantor akuntan publik di Jakarta. Tetapi karena suatu peristiwa, aku terpaksa keluar dan kembali ke kampung halamanku.

Dengan pekerjaan yang sekarang, tidak banyak uang yang kudapatkan, tetapi aku sangat bahagia. Ada kepuasan tersendiri ketika berbicara di depan mikrofon, mendengarkan lagu-lagu kesayangan dan menerima sapaan dari pendengar setia. Di udara, para pendengar programku hanya mengenal diriku sebagai seorang yang ramah dan ceria. Padahal sesungguhnya, aku seorang yang "introvert". Aku hanya memiliki beberapa orang teman dekat yang sangat memahami diriku.

Setelah menunaikan kewajiban di waktu maghrib, aku terduduk di atas sajadah. Doa-doa yang panjang aku panjatkan, memohon yang terbaik dari Allah, Tuhan Semesta Alam. Sebagai seorang muslim, aku percaya bahwa jodoh, rezeki dan maut adalah hak prerogratif Allah, hanya Allah yang bisa menentukannya. Sebagai manusia kita hanya bisa berikhtiar dan berdoa.

Suara laki-laki itu masih terngiang di telingaku. Menyisakan perih dan luka di hati. Hinaan tentang perawan tua ini bukanlah yang pertama. Entah sudah berapa orang yang melakukannya, tapi aku tidak pernah peduli. Bagiku itu hal yang biasa, baik mereka sengaja atau tidak, dengan serius atau canda. Tapi ketika hinaan itu diberikan oleh saudara sedarah, rasa sakitnya tak terkira.

Bukankah dia saudaraku yang terlahir dari rahim yang sama? Tidak bisakah dia menasehatiku dengan kata-kata yang lebih bijak? Bukankah dia seharusnya lebih mengerti diriku dibandingkan orang lain? Apakah selama ini aku pernah menyusahkannya?

Rasa sesak di dada tidak lagi bisa kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya. Tersungkur di atas sajadah biru hadiah dari ibuku, hingga akhirnya aku tertidur pulas.

"Sha, bangunlah. Ayo, kita makan dulu." Suara lembut bapak dan tangannya yang menepuk punggungku, membangunkanku dari mimpi. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang wajahnya hampir saja aku kenali, kalau saja bapak tidak membuatku terjaga. Aku berusaha mengingat wajahnya, tetapi tidak bisa. Apakah dia merupakan jawaban atas doa-doaku selama ini?

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang