Part 41 : Makan Malam

229 13 0
                                    


"Kak, nasinya mana?" pertanyaan Ahya membuyarkan lamunanku tentang Putri.

"Iya, sebentar," jawabku.

Aku tidak tahu apakah Putri sudah mengungkapkan perasaannya kepada Andika atau belum.

'Aku harus menanyakan ini kepada Dika,' batinku.

Setelah menyendok nasi dari rice cooker ke mangkuk kaca, aku bergegas ke ruang makan. Keluargaku dan Andika sudah duduk di meja makan dari kayu yang cukup untuk delapan orang. Berbagai menu sudah tersedia di meja makan, rendang daging, goreng ayam cabe hijau, berbagai jenis sayuran ulam, sambal lado teri dan gulai pucuk ubi jengkol. Tidak lupa kerupuk udang dalam toples besar.

Andika duduk di samping Yandi, sedangkan aku duduk dekat ibuku. Kami makan malam sambil bercerita. Pada saat itu aku baru tahu kalau Andika sudah tidak memiliki bapak sejak usia remaja, sehingga dia sudah mulai bekerja keras di usia muda untuk membantu ibunya yang bekerja sebagai tukang jahit. Sebagai anak paling tua, dia ikut bertanggungjawab terhadap ketiga adiknya yang masih sekolah. Karena prestasinya masa sekolah, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di salah satu unversitas negeri jurusan pendidikan Bahasa Inggris.

Setelah makan malam, aku bersama Ni Lisa, Da Ip dan Andika duduk di ruang tamu sambil menikmati martabak manis yang kubeli tadi sore. Bapak dan ibuku menonton televisi di ruang tengah. Sedangkan Yandi dan Ahya pergi ke rumah orang tua Ni Lisa untuk menjemput anak-anak mereka. Besok pagi mereka semua harus ke bandara untuk mengejar penerbangan pagi ke Aceh. Mungkin kami baru bisa berkumpul lagi setelah satu tahun karena tidak mudah bagi Yandi untuk mendapatkan cuti.

"Jadi kuliah S2 sudah selesai ya?" tanya Da Ip kepada Andika.

Andika tersenyum, "Alhamdulillah, baru selesai ujian sebulan yang lalu. Sekarang nunggu wisuda saja, Bang."

"Wah ... gak nyangka kalau yang ngajar di BIMBEL kami seorang master Bahasa Inggris," kata Ni Lisa.

"Biasa saja, Kak Lisa. Aku juga masih belajar," kata Andika.

Aku hanya tersenyum. Bahasa Inggris Andika memang sangat bagus, karena itu dia juga membawakan program Bahasa Inggris di radio kami.

"Kenapa gak bilang sebelumnya, kalau sudah kenal sama Rysha? Mau buat kejutan ya?" tanya Ni Lisa yang disambut tawa Andika.

"Awalnya gak yakin, karena bisa saja wajahnya mirip," kata Andika sambil melirikku.

'Apa? Memangnya dia pikir wajahku pasaran? Gadis manis sepertiku cuma satu-satunya di dunia,' jerit batinku.

"Ehem, maksud kalian ini apa?" tanya Da Ip yang sedikit bingung dengan percakapan kami.

"Gak apa-apa, Da. Ni Lisa cuma heran kenapa teman kami bisa sama, ternyata dunia ini kecil sekali ya," kataku mencoba mengalihkan perhatian Da Ip, bagaimanapun dia belum boleh tahu tentang perjodohan ini.

"Benar. Oh ya, Uni dan Da Ip juga mau jemput anak-anak. Kalian bicara saja di sini, Bapak dan Mamak juga ada di ruang tengah. Gak apa-apa ya?" tanya Ni Lisa sambil berdiri.

Aku pun terkejut dan berdiri.

'Ni Lisa ingin membiarkanku berduaan dengan Andika?' batinku

"Hari sudah malam, Uni. Kasihan Dika, rumahnya jauh dan dia juga ada siaran besok pagi, benarkan?" tanyaku sambil menatap Andika, memohon pengertiannya.

Seakan memahami keinginanku, Andika tersenyum dan berdiri, "Benar, Kak Lisa. Sebaiknya aku pulang, jam enam pagi besok ada tugas di radio. Terima kasih untuk makan malamnya. InshaAllah suatu saat nanti, aku yang akan undang kalian semua untuk makan malam di rumah."

Setelah pamit dengan kedua orang tuaku, aku mengantar Andika sampai ke teras.

"Kita berdua akan bicara nanti," bisikku.

"Ya, tentu saja. Bagaimana kalau malam sabtu ini? Aku masih ada utang traktiran dengan Kak Dewi," katanya sambil menatapku.

Aku pun tersenyum dan mengangguk, "Hmm ... baiklah. Jangan bilang apa-apa sama orang di radio, ok?"

Andika tertawa kecil dan mengangguk. Aku menatap punggung Andika yang melaju dengan sepeda motornya meninggalkan halaman rumahku. Ada rasa aneh yang sulit dilukiskan. Kejutan yang kualami malam ini, sungguh di luar dugaanku. Aku tidak menyangka, kalau laki-laki itu adalah Andika.

'Apakah dia jodohku? Bagaimana dengan Putri?' batinku bimbang.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang