Part 34 : Pulang Ka Bako

255 12 0
                                    

Setelah menempuh perjalanan darat dengan mobil travel dari Padang, aku sampai di rumah Pak Tuo Rizal pukul sebelas siang. Mak tuo sudah menyiapkan secangkir teh hangat dan perkedel jagung panas, sedangkan pak tuo masih ada di tokonya. Biasanya dia akan pulang menjelang zuhur untuk makan siang di rumah dan istirahat siang. Pak Tuo akan bergantian menjaga toko dengan menantunya yang paling tua.

Anak pertama Pak Tuo, Ni Teti, sudah menikah dan dikaruniai satu orang anak laki-laki. Suaminya bekerja dengan Pak Tuo di toko beras milik keluarga mereka. Sedangkan anak kedua Pak Tuo, Ni Ipit, juga sudah menikah tapi belum dikarunia anak. Ni Ipit dan suaminya bekerja sebagai guru di salah satu SMP negeri di kota ini.

"Apa kabar Mamak kau di Padang, apakah sehat?" tanya Mak Tuo setelah meletakkan sepiring perkedel jagung yang baru dimasaknya ke atas meja tamu.

"Alhamdulillah, sehat. Mak Uo sekeluarga bagaimana kabarnya? Sudah setahun pula Rysha tidak berkunjung ke sini," jawabku sambil mencicipi perkedel jagung panas yang terasa sangat renyah dan lezat, apalagi di udara dingin seperti ini.

Kota Padang Panjang adalah kota dengan wilayah terkecil di Sumatera Barat yang berada di ketinggian kurang lebih delapan ratus lima puluh meter di atas permukaan laut. Kota ini terletak pada kawasan pegunungan yang berhawa sejuk dengan curah hujan yang cukup tinggi. Ada tiga gunung yang berjejer di bagian utara agak ke barat Padang Panjang yaitu gunung Marapi, Gunung Singgalang dan gunung Tandikek. Kalau di pulau Jawa kita mengenal Bogor sebagai kota hujan, maka Padang Panjang adalah kota hujannya pulau Sumatera. Kota ini terkenal dengan beberapa julukan selain kota hujan yaitu Kota Serambi Mekkah, Egypte van Andalas dan kota pendidikan.

"Kami sekeluarga sehat, cuma si Ipit dua bulan yang lalu habis keguguran. Padahal Mak Uo sudah berharap untuk menimang cucu dari Ipit," kata Mak Uo dengan muka sedih.

Aku dapat memahami kesedihan Mak Uo. Ni Ipit sudah hamil tiga kali namun selalu mengalami keguguran di usia kandungan sebelum tiga bulan. Berbagai pengobatan sudah mereka coba tetapi takdir Tuhan tidak dapat di tolak, mungkin ini adalah ujian kesabaran untuk keluarga mereka.

"Kau sendiri bagaimana? Sudah berapa umur kau sekarang? Kasihan Mamak kau, cepatlah menikah," kata Mak Uo sambil menatapku.

Aku pun menarik nafas berat. Aku tahu bahwa pertanyaan seperti ini pasti akan datang.

"Rysha sudah dua puluh depalan tahun, Mak Uo. Sama dengan Ni Pit, anak adalah titipan Allah, kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Kalau Allah bilang belum waktunya, maka kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jodoh juga seperti itu, Mak Uo," jawabku sambil menatap wanita tua yang sudah beruban tersebut. Aku sudah menganggap Mak tuo seperti ibuku sendiri.

Mak tuo tersenyum, "Andaikan kami punya anak laki-laki, kau pasti sudah kujadikan menantu di rumah ini."

Beberapa saat kami saling bertatapan dan kemudian tertawa bersama.

"Mak tuo pasti akan makan hati kalau Rysha jadi menantu di rumah ini," kataku sambil tertawa.

Dalam masyarakat minang, memang sudah biasa menikah dengan anak dari saudara laki-laki ibu yang disebut juga "pulang ka Mamak" atau menikah dengan anak dari saudara perempuan ayah yang disebut "pulang ka Bako".

Setelah hampir satu jam bercerita, akhirnya Pak Tuo Rizal datang dan kami pun makan siang bersama. Hari ini Mak Tuo masak yang istimewa yaitu gulai gajeboh atau sampadeh daging. Bagaimanapun aku butuh banyak lemak untuk bisa bertahan di kota hujan nan elok ini.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang