Part 51 : Mimpi Buruk

159 13 0
                                    


"Lepaskan! Biarkan aku turun. Aku bisa pulang sendiri!" teriakku sambil berusaha melepaskan tangan Aldo yang memegang lenganku.

Aku terus berontak dan teriak, sementara mobil Aldo melaju di kelok empat puluh empat. Aku hampir berhasil menurunkan seluruh kaca jendela dan membuka sabuk pengaman. Tiba-tiba sebuah mobil pick up muncul di hadapan kami, tepat sebelum belokan tajam. Aldo yang sibuk memegangiku pun kehilangan kendali, dia membanting setir ke kiri demi menghindari tabrakan. Malangnya, itu adalah sebuah jurang. Kami pun melayang dan aku merasakan benturan hebat. Rasa sakit yang luar biasa, napasku seolah-olah mau putus ... aku sekarat.

Aku pun terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membanjiri tubuhku.

"Itu hanya mimpi... mimpi ... astaghfirullah ...," aku beristighfar berulang kali.

Perlahan aku bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Sebenarnya aku sudah memasang alarm setiap pukul tiga pagi untuk sholat tahajud dan istikharah, seperti yang sudah kulakukan beberapa malam ini. Tapi mimpi tadi membangunkanku, mimpi yang menakutkan.

Seketika tubuhku bergetar.

Itu bukan mimpi ... itu kenangan yang tidak bisa kulupakan, jerit batinku.

Air mataku tumpah tanpa terbendung, hatiku terasa sangat nyeri. Beberapa lamanya aku terisak sendiri. Akhirnya aku bangkit dan mengambil air wudu, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan kedua orang tuaku. Aku hanya ingin berduaan dengan Tuhanku malam ini, menumpahkan semua rasa dan mengirim doa untuk kekasih yang telah tiada.

***

Hari kamis pagi yang cerah, suasana kantor terlihat begitu ceria. Ratih membeli beberapa hiasan dinding dan bunga warna warni untuk kantor kami. Dari pagi kami berdua sudah sibuk memindahkan barang-barang, kebetulan pekerjaanku hari ini tidak terlalu banyak. Ni Fitri dan Putri sedang ada tugas diluar kantor, jadi hanya kami berdua yang menata ruangan.

"Kak, lukisan ini bagusnya ditempel di sini, tetapi kita butuh orang untuk membuat gantungannya. Siapa yang bisa bantu kita, ya?" tanya Ratih. Dia berdiri di atas sebuah bangku plastik sambil memegang lukisan pemandangan gunung Merapi yang berbingkai kuning emas di tangannya.

"Coba keluar dan minta tolong Pak Agus, biar kakak pegang lukisannya," jawabku.

Ratih mengangguk dan menyerahkan lukisan tersebut kepadaku. Aku pun menggantikan posisi Ratih. Baru saja dia melangkah menuju pintu yang terbuka, dia langsung berteriak senang karena melihat Andika yang baru tiba.

"Eh, ada bang Dika. Sini bantu kami, Bang!" pinta Ratih sambil tersenyum ke arah Dika.

"Iya, apa yang bisa dibantu?" tanya Andika sambil memasuki kantor kami. Untuk beberapa detik, kami saling bertatapan dan hatiku pun bergetar. Rasa yang selama ini tidak kusadari telah hadir.

"Tolong buat gantungan untuk lukisan ini, Bang!" pinta Ratih sambil menyodorkan sebuah paku dan palu.

"Di dinding ini?" tanya Dika sambil mengambil paku dan palu dari tangan Ratih.

"Iya, di sini," jawab Ratih. Dia menunjuk ke arah dinding tempatku yang sedang berdiri mematung. Aku hanya berharap mereka berdua tidak bisa mendengar degup jantungku.

Andika tersenyum, menatap paku yang ada di tangannya dan berkata, "kalau untuk dinding, bukan pakai paku yang ini. Ada paku khusus, coba minta sama Pak Agus."

"Oh, berarti pakunya beda, ya? Ya udah deh, Bang Dika temanin Kak Dewi di sini, aku cari Pak Agus dulu," seru Ratih sambil melangkah keluar.

Kenapa kau tinggalkan aku berduaan di sini, Ratih? batinku.

Andika kembali memandangku sambil tersenyum. Ada tatapan yang berbeda dari matanya. Jantungku semakin berdegup cepat dan aku pun salah tingkah.

"Kamu tidak merasa lelah? Kenapa tidak turun saja?" tanyanya dengan wajah jenaka.

Aku pun tidak mengerti dan bertanya, "turun kemana?"

"Turun dari kursi itu. Kamu kelihatan lucu. Haruskah aku mengambil fotomu?" tanya Andika sambil tertawa pelan.

"Ya, ampun," teriakku ketika menyadari posisiku sekarang.

Berdiri mematung di atas kursi dengan tangan memegang lukisan yang menempel di dinding, persis seperti orang yang sedang menjajakan iklan. Aku pun turun dengan menahan malu diiringi suara tawa renyah Andika.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang