Part 76 : Listi

117 10 0
                                    


Kedekatan kami dimulai ketika aku memasuki tahap akhir kuliah yaitu bimbingan tesis. Handoko menjadi dosen pembimbing dan kami bertemu hampir setiap hari di kampus. Kharisma dan sifat sabar yang dimilikinya menimbulkan rasa nyaman. Dia memang berbeda dengan dosen lain di sini yang cenderung sombong dan menjaga jarak. Akhirnya aku bisa memahami kenapa banyak mahasiswi atau dosen perempuan yang mengejar-ngejar cinta Handoko.

Suatu malam, setelah bimbingan selesai dia memintaku untuk menemaninya makan di sebuah kafe. Dia pun mengungkapkan perasaannya dan memintaku menjadi kekasih sekaligus calon istrinya. Ini sungguh diluar dugaan, bagaimana dia menyukai dan mencintai diam-diam. Namun akhirnya aku menolak dengan halus karena kisah tragis dan trauma yang telah terjadi dalam hidupku.

Handoko pantang menyerah, dia terus mendekati dan meyakinkanku. Dia selalu sabar, bahkan setelah penolakan berulang kali. Akhirnya hatiku luluh melihat usaha dan kesungguhannya. Mungkin saatnya untuk melupakan Aldo dan trauma masa lalu. Aku pun menerima Handoko, walaupun masih belum bisa mencintainya.

Setelah hampir enam bulan jalan bersama sebagai sepasang kekasih, Handoko memperkenalkanku dengan keluarganya. Hal ini menunjukkan kesungguhannya untuk masa depan hubungan kami. Rencananya pernikahan akan dilaksanakan setelah aku di wisuda. Aku pun mulai terbuka dan menceritakan semua masa lalu dengan Aldo, selama itu Handoko selalu mendengarkan semua ceritaku dengan sabar.

Hingga saat wisuda akan tiba, aku juga sudah siap untuk memperkenalkan Handoko dengan kedua orang tua di Padang. Shifa dan Arina juga sudah mengetahui hubungan kami, mereka selalu memberikan dukungan sebagai sahabat. Namun sayang, sebuah peristiwa telah mengubah segalanya.

***

"Apa? Kau hamil?" Aku menatap Listi dengan pandangan tidak percaya. Listi adalah sahabatku di kampus dan kami berdua selalu bersama hingga bisa menyelesaikan kuliah yang hanya tinggal menunggu wisuda. Hari ini, dia memintaku untuk datang ke tempat kosnya. Pengakuan Listi, membuatku sangat terkejut. Setahuku, Listi adalah gadis baik yang tidak punya hubungan dengan laki-laki mana pun.

Listi mengangguk pelan, air matanya terus mengalir di pipi putih bak pualam tersebut. Listi memang cantik, tubuh ideal yang disempurnakan dengan kulit putih bersih. Aku memegang kedua bahunya, mencoba mencari kebenaran dari kedua bola matanya yang basah tersebut.

"Siapa yang melakukannya? Apakah ... dia mau bertanggungjawab?" tanyaku dengan suara serak.

Sebenarnya banyak pertanyan di benakku, tetapi hati tidak tega untuk bertanya. Apakah kehamilan ini juga atas keinginannya. Siapa kekasihnya dan kenapa dia sampai bisa melangkah sejauh ini.

Listi menatapku dengan pandangan sendu. "Maafkan aku, Sha," katanya pelan dengan bibir gemetar.

Aku menatapnya heran. "Kenapa kau minta maaf padaku? Salahmu apa, Listi? Aku hanya bertanya tentang laki-laki itu, apakah dia mau mempertanggungjawabkan janin yang ada di kandunganmu?"

Dia pun semakin tersedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya. Hatiku terasa sakit, sungguh tidak punya hati laki-laki yang menanam benih di rahimnya tetapi tidak mau bertanggungjawab.

"Sudahlah, jangan menangis lagi. Pikirkan anak dalam kandunganmu. Bagaimanapun semua sudah terjadi," kataku pelan sambil mengusap punggung Listi.

Listi akhirnya terdiam dan menatapku. "Sha, maukah kau membantuku jika aku memberitahukan nama laki-laki itu? Bisakah ... kau memintanya untuk menikahiku?"

Aku pun menarik napas panjang. Walau aku tidak suka ikut campur urusan orang lain, tetapi Listi adalah sahabatku. Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan untuk menolongnya.

"Aku akan berusaha untuk bicara dengannya," kataku mencoba meyakinkannya.

"Di—dia, Pak Handoko," jawab Listi.

"Apa?" Aku pun tersentak, mataku menatap Listi yang tertunduk.

"Ini tidak mungkin!" teriakku, "bagaimana kau bisa menuduhnya seperti itu," lanjutku.

Aku pun berdiri dengan wajah memerah dan tangan gemetar menahan amarah. Gadis ini pasti berdusta. Handoko tidak mungkin melakukan semua kegilaan ini. Dia mencintaiku dan kami akan segera menikah. Selama ini aku tidak pernah mencurigai Handoko.

"Sha, aku tidak bohong. Demi anak dalam kandunganku, semua itu benar," jerit Listi di antara isakan tangisnya.

"Kau bohong! Handoko bukan laki-laki seperti itu. Lagi pula, bagaimana bisa kalian bermain di belakangku? Aku tidak sebodoh itu, Listi." Aku mengguncang bahu Listi dengan kasar. Hampir saja aku lupa kalau dia sedang hamil.

Listi terduduk di bangku plastik yang ada di kamarnya. "Kami ... sudah berhubungan selama dua bulan. Sejujurnya, aku telah lama mencintainya, bahkan sebelum kalian berpacaran."

Aku menatap Listi dengan mata melotot tak percaya. Selama ini, teman dekatku diam-diam mencintai Handoko. Seandainya aku tahu dari dulu, mungkin peristiwa ini tidak akan pernah terjadi.

"Aku sudah meminta Handoko untuk menikahiku, tetapi dia menolaknya. Hanya kau yang bisa meyakinkannya, Sha. Bagaimanapun, aku mengandung anaknya." Dia pun menangis terisak.

Raga gemetar dan hati terasa sesak. Sekali lagi aku telah dikhianati oleh orang terdekat. Hari ini rasa sakit itu bahkan lebih buruk, aku juga telah dikhianati oleh sahabat sendiri. Bagaimana mungkin, dua orang yang tidak tahu malu itu tersenyum di depan mata, tetapi juga bercinta di belakang punggungku.

Dengan mata merah menahan tangis dan amarah, aku melangkah meninggalkan Listi. Hari itu, persahabatan kami telah hancur karena sebuah pengkhianatan. Itu juga merupakan hari terakhir aku melihat wajahnya.

***

Bunyi pintu yang terbuka membangunkanku. Handoko datang dengan membawa sebuah rantang. Seketika bau nasi goreng menyeruak ke dalam ruangan, bersatu dengan bau kotoran ayam. Aku baru menyadari bahwa di samping ruangan kecil ini adalah sebuah kandang ayam karena suara ayam dan baunya yang sangat jelas tercium.

Laki-laki itu tersenyum, bau harum sabun mandi sangat kental tercium dari tubuhnya.

"Maaf, aku agak terlambat. Tadi aku mandi dulu dan membuat sarapan spesial untukmu," katanya sambil membelai pipiku. Seketika aku mengelak dari sentuhannya. Laki-laki ini pasti sudah gila.

Handoko tersenyum sambil membuka sapu tangan yang membungkam mulutku. Akhirnya aku bisa bernapas sedikit lega. Dengan mata berapi-api, aku menatapnya dan berteriak.

"Kau sudah gila! Lepaskan aku! Apa gunanya kau menahanku di sini? Apa yang kau inginkan? Kalau kau ingin uang ... maaf, orang tuaku bukan orang yang berada. Jadi sebaiknya lepaskan aku!"

Handoko tertawa ringan, kemudian bertepuk tangan. "Ya ampun, sayangku. Menurutmu aku butuh uang? Baiklah. Aku memang miskin dan butuh uang sekarang, tetapi itu bukan tujuanku menculikmu. Aku hanya ingin ... kau menemaniku, seperti dulu."

Butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna kata-kata Handoko. Akhirnya aku pun ikut tertawa. "Sekarang aku yakin, kalau kau benar-benar sudah gila. Kenapa aku harus menemanimu? Kemana Listi dan anakmu? Bukankah seharusnya kau bersama mereka?"

Seketika Handoko terdiam. Sebuah senyuman aneh terukir dari bibirnya. Dia pun mengambil nasi goreng dari dalam rantang dan menatapku dengan dingin. "Jangan bertanya tentang dia lagi. Listi sudah mati. Kalau kau tidak mau bernasib sama, lebih baik kau ikuti kata-kataku."

Tiba-tiba tubuhku membeku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Handoko membunuh Listi?

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang