Part 31 : Debaran

282 15 0
                                    

Tinn ... tinn, suara klakson motorku membuat Pak Agus sedikit berlari untuk membuka gerbang besi warna hitam di depanku. Dengan sigap, Pak Agus membuka gerbang dan memberikanku sebuah kartu tanda parkir kendaraan. Setiap kendaraan yang masuk ke gedung ini memang harus memiliki kartu parkir kendaraan untuk menjaga dari kehilangan dan pencurian.

Pak Agus tersenyum kepadaku dan berkata, "Kok kepagian hari ini, Bu Dewi? Belum ada yang datang, lho. Cuma Pak Dika sendirian lagi siaran."

"Iya, Pak. Ada yang mau dikerjakan pagi ini, makanya datang cepat. Oh ya, ini untuk Pak Agus, teman minum kopi," kataku sambil menyerahkan sebuah kotak tupperware yang berisi beberapa potong kue bolu buatan Ni Lisa tadi malam.

Dengan tersenyum Pak Agus menerima pemberianku, "Terima kasih, Bu Dewi."

"Sama-sama. Tempatnya simpan aja dulu, nanti sore ketika pulang saya ambil," kataku sambil tersenyum yang disambut anggukan kepalanya.

Setelah memarkirkan kendaraanku, aku langsung melangkah cepat menyusuri halaman kantor sekaligus tempat stasiun radio kami. Radio Mentari FM ini didirikan oleh Pak Bastian Tito, seorang pensiunan tentara bersama empat orang temannya. Pak Bastian bahkan menghibahkan tanahnya yang sekarang menjadi tempat stasiun radio ini berdiri.

Gedung bercat putih dan pagar batu warna putih dan hijau ini memiliki dua lantai dimana lantai satu digunakan untuk kantor radio kami. Selain itu ada beberapa ruang yang sengaja disewakan untuk umum seperti kantor travel haji dan umroh yang letaknya bersebelahan dengan kantorku. Lantai dua adalah tempat studio Mentari FM, ruang tamu radio dan aula yang cukup untuk menampung ratusan orang. Aula ini juga disewakan untuk acara-acara seminar atau pengajian.

Kantorku sudah terbuka dan dibersihkan oleh Pak Agus. Selain menjadi satpam, Pak Agus juga bertanggung jawab untuk kebersihan radio kami. Pak Bastian membangun sebuah rumah di balakang kantor ini untuk Pak Agus dan keluarganya, sehingga gedung ini tetap ada penjaganya pada malam hari. Istri Pak Agus hanya ibu rumah tangga biasa dan anak mereka ada dua orang, Iwan dan Yelli yang sekarang sekolah kelas enam dan empat SD. Biaya sekolah anak-anaknya juga ditanggung oleh Pak Bastian.

Aku segera duduk dan membuka beberapa file berisi laporan keuangan untuk pengeluaran minggu ini. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera karena hari ini aku mau pulang sedikit lebih awal. Tadi malam Ni Lisa menyampaikan bahwa laki-laki yang ingin berkenalan denganku akan datang malam ini, kami mengundangnya untuk makan malam. Aku ingin membantu Ni Lisa dan Ahya untuk mempersiapkannya. Bagaimanapun Ahya sudah sangat sibuk dengan Raka dan Riki yang tidak mau diam serta merawat ibuku.

Belum pukul delapan pagi dan satu persatu orang-orang mulai berdatangan ke kantor. Putri juga kelihatan sibuk pagi ini, dia langsung menuju ruang tamu radio di lantai atas, ada pertemuan dengan beberapa sponsor acara radio pukul sembilan nanti. Ni Fitri juga sibuk, ada pekerjaan di luar kantor yang harus dikerjakan. Sedangkan Ratih yang bertanggung jawab untuk administrasi ikut ke lantai atas menemani Putri.

"Ehem ... lagi sibuk ya Kak?" kata Dika yang menunduk tepat di atas mejaku.

Aku yang terkejut, langsung mengangkat kepala dan pandangan kami bertemu untuk beberapa detik.

"Ya ampun, Dika. Aku hampir jantungan. Kenapa gak bilang salam dulu?" protesku sambil memalingkan muka. Sejujurnya aku tidak tahan menatap mata elangnya.

Andika tertawa renyah. "Sudah bilang salam tadi, kak Dewi aja yang tidak dengar. Serius kali, emang lagi mengerjakan apa?" katanya santai sambil duduk di kursi yang ada di hadapanku.

Aku memang sedang konsentrasi dengan setumpuk laporan sehingga tidak mendengar salam dan menyadari kedatangannya.

"Ada laporan yang harus diselesaikan," kataku singkat.

"Ada acara malam ini?" katanya sambil menatapku.

"Memangnya kenapa? Mau ngajak traktiran yang dijanjikan kemarin?" balasku sambil tersenyum.

"Ya, kalau kak Dewi tak sibuk," jawabnya singkat.

"Gak bisa. Ada acara di rumah malam ini," kataku.

Andika pun berdiri dan bersiap pergi. "Hhmm ... baiklah, kita akan cari waktu yang tepat. Aku mau ke kampus dulu. Assalamulaikum kak," katanya sambil tersenyum penuh arti.

Aku menjawab salam dan menatapnya yang berjalan keluar dari ruanganku.

'Laki-laki ini kadang membuat jantungku berdebar,' bisik batinku.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang