Part 13 : Dokter Ridwan

414 21 0
                                    


Pagi hari yang cerah di hari minggu, aku memacu sepeda motorku ke rumah sakit. Aku harus menggantikan tugas Da Ip untuk menjaga ibuku hari ini. Setelah sampai di halaman rumah sakit, aku langsung memarkirkan motor di tempat parkir yang telah disediakan. Tempat parkir ini terletak di samping pintu masuk, langsung tersambung dengan lorong menuju ruang rawat darurat dan ruang rawat inap. Aku melangkahkan kaki dengan cepat menuju ruang melati kamar 02, tempat ibuku dirawat sambil menenteng sebuah rantang berisi nasi goreng kampung untuk sarapan Da Ip. Udaku yang satu ini memang tidak suka sarapan di luar, dia lebih menyukai masakan rumah seperti masakan istrinya.

Ketika memasuki ruangan itu, aku melihat Da Ip sedang menyuapi ibuku. Sambil tersenyum aku mendekati mereka. "Assalamualaikum, Mak. Senangnya lihat Mamak sudah bisa duduk dan makan seperti ini," sapaku sambil mencium pipi ibuku.

"Waalaikumsalam. Kok terlambat, Sha. Mana Bapak dan Lisa?" tanya ibuku.

"Tadi Rysha nyuci baju dulu, Mak. Setelah itu bersihkan rumah dan sarapan. Bapak nanti sore ke sini. Sedangkan Ni Lisa, setelah sarapan tadi, langsung pergi ke rumah Mak Aty untuk jemput anak-anak," jawabku sambil duduk dan meletakkan rantang di meja.

"Ini sarapan untuk Uda. Sebaiknya dimakan dulu, sebelum nasi gorengnya jadi dingin. Biar Rysha saja yang menyuapi mamak," kataku sambil mengambil rantang makanan ibuku dari tangan Da Ip.

Ibuku bisa menghabiskan setengah sarapan bubur yang ada di rantangnya. Aku menatapnya dengan bahagia, "Kalau Mamak terus makan sebanyak ini, nanti Mamak bisa cepat sembuh dan balik ke rumah kita. Bisa makan sambal lado tanak minyak dan gulai ikan salai kesukaan Mamak."

Ibuku tersenyum dan mengangguk lemah. "Mamak mau pulang saja, sudah bosan di rumah sakit ini. Kita bisa pulang hari ini, kan?" rengek ibuku.

Aku dan Da Ip tertawa, ibuku memang tidak suka rumah sakit. Ini pertama kalinya dia dirawat di rumah sakit. Ketika melahirkan kami, ibuku hanya memanggil bidan ke rumah. Kami semua lahir secara normal, di rumah kami.

"Mamak tidak bisa pulang sebelum dokter mengizinkan, mungkin beberapa hari lagi. Kita tunggu dokter dulu ya," kata Da Ip yang telah menyelesaian sarapannya.

"Bilang saja sama dokter, kalau mamak sudah sehat dan mau pulang. Mamak tidak mau di sini terus, nanti tambah sakit." Ibuku semakin merengek seperti anak kecil.

Tiba-tiba Da Ip berbisik ke telingaku. "Tadi malam menjelang subuh, ibu yang sakit kanker usus di sudut itu, meninggal dunia. Mungkin karena itu mamak tidak nyaman dan minta pulang."

"Inna lillahi wainna lillahi rojiun." Ucapku spontan sambil memandang tempat tidur di sudut kiri ruangan ini. Tempat tidur itu sudah kosong. Aku masih ingat wajah Bu Ani, pasien kanker usus yang sangat tegar. Setelah hampir lima tahun bertarung dengan penyakit kankernya, berkali-kali menjalani kemoterapi, akhirnya harus menyerah.

Hampir satu minggu menemani ibuku setiap malam di sini, memberiku kesempatan untuk berkenalan dengan pasien lain yang ada di ruangan ini.

"Sha, Mamak mau pulang hari ini, ya ... bilang sama dokternya." Rengekan ibuku membuatku tersadar dari lamunan.

"Siapa yang mau pulang?" tiba-tiba dokter Ridwan, yang selama ini merawat ibuku muncul dari pintu diiringi dua orang perawat.

"Ibu yang mau pulang ya ... kenapa? Tidak suka lihat wajah saya lagi?" kata dokter Ridwan sambil tertawa. Dokter tampan ini memang sangat ramah dan suka bercanda. Ibuku saja langsung jatuh hati kepadanya.

"Saya sudah sehat, Dok. Tidak terasa sakit lagi. Boleh pulang ya, Dok?" kata ibuku merengek manja.

"Wahh ... Ibu kan baru selesai operasi, belum juga dua puluh empat jam, bagaimana mungkin bisa pulang? Di sini dulu beberapa hari, ya. Kita pastikan dulu, kondisi Ibu sudah stabil dan lukanya bisa dirawat di rumah." Kata dokter Ridwan sambil tersenyum manis.

Ibuku akhirnya mengangguk sambil tersenyum. Aku memperhatikannya secara seksama, hanya satu kali bujukan dan dia langsung setuju. Hati perempuan mana yang tidak luluh melihat wajah tampan yang dihiasi senyum yang mempesona. Andaikan saja .... 

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang