Acara makan malam di rumah Andika berjalan dengan lancar. Ibu Andika yang kupanggil Mak Rosma, benar-benar menyiapkan penyambutanku. Kami duduk bersama di lantai beralaskan tikar. Di hadapanku terhidang nasi dengan berbagai lauk pauknya, mulai dari goreng ikan, gulai ayam, rendang daging dan dadar telur serta sayuran untuk lalapan. Ada juga buah semangka, teh manis, goreng bakwan dan agar-agar coklat. Tidak ketinggalan sebuah kue bolu dengan lapisan keju, yang sebenarnya aku bawa untuk keluarga mereka.
Aku menatap semua hidangan tersebut dengan penuh takjub, hidangan ini cukup untuk menjamu sepuluh orang. Ternyata di balik kesederhanaan mereka, keluarga ini benar-benar menghormati dan menghargai seorang tamu.
Kami menikmati hidangan sambil bercerita. Bagas dan Angga, adik laki-laki Andika terlihat lebih diam dan pemalu. Berbanding terbalik dengan Hanna yang terus nyerocos sepanjang makan malam. Kadang kala, kami tertawa mendengar cara Hanna bercerita, sungguh menggemaskan.
Bagas merupakan adik pertama Andika. Pria muda ini sangat mirip dengan Andika tetapi memiliki kulit yang lebih gelap. Saat ini, dia sudah berusia dua puluh tiga tahun. Bagas, baru saja selesai wisuda dan meraih gelar sarjana pertanian dari sebuah universitas negeri di kota ini. Dia berniat untuk pulang ke kampung mereka di Payakumbuh dan mengolah sawah dan kebun peninggalan keluarga. Bu Rosma merupakan anak perempuan satu-satunya. Dalam adat minang, harta pusaka dijaga oleh anak perempuan dan tidak boleh diperjualbelikan. Bagas mengatakan bahwa dia akan merawat sawah dan kebun tersebut untuk Hanna, sekaligus mengamalkan ilmu yang didapatnya selama kuliah.
Sedangkan adik kedua Andika, Angga masih duduk di kelas akhir SMA. Angga terlihat lebih pendiam. Anak muda berkacamata ini senang sekali membaca dan menulis. Dia selalu meraih gelar juara kelas karena kepintarannya. Andika mengatakan kalau Angga bercita-cita menjadi seorang penulis ternama. Beberapa tulisannya, bahkan sudah dimuat dalam surat kabar harian di kota Padang.
Diam-diam, aku sangat kagum dengan keluarga ini. Bagaimana Mak Ros dan almarhum suaminya, mampu mendidik anak-anak mereka. Keluarga sederhana yang mengutamakan pendidikan untuk anak-anaknya.
"Jadi, kapan rencana kalian akan menikah? Sudah ditetapkan tanggalnya?" Mak Ros, menatapku dan Andika bergantian. Kami bertiga sedang duduk di teras, menikmati semilir angin malam yang cukup mendinginkan badan setelah makan malam.
"Tanggalnya belum ditentukan, Mak. Nanti keluarga Dewi akan mengundang kita untuk membicarakan tanggal dan persiapan pernikahan, benarkan, Dewi?" tanya Andika.
"Iya, InsyaAllah, minggu depan kami akan undang semua keluarga di sini untuk makan malam dan menetapkan tanggal serta persiapan lainnya," jawabku tersenyum.
Mak ros menganggukkan kepala tanda setuju. "Mak, cukup terkejut ketika Andika mengatakan akan menikah satu bulan lagi. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba ingin menikah. Mak saja, belum pernah melihat wajah perempuannya. Tidak pernah sekalipun, Andika membawa teman perempuannya ke rumah ini. Apa gak jantungan, Mak waktu itu?" katanya sambil tertawa pelan.
Aku dan Andika pun ikut tertawa. "Terus terang, Mak. Dewi juga terkejut," kataku dengan jujur.
Mak Ros menatapku dalam. "Setelah Andika menunjukkan fotomu, barulah Mak merasa yakin kalau Nak Dewi bisa menjadi istri yang baik untuk Andika."
Dia menarik napas dalam dan berkata, "memang sudah waktunya bagi Andika untuk menikah. Setelah kepergian Bapaknya, dia selalu menjaga kami berempat. Sekarang waktunya bagi dia untuk bahagia dan memikirkan dirinya sendiri."
"Mak, jangan berkata begitu. Walaupun sudah menikah nanti, Andika tetap akan menjaga Mak dan adik-adik." Andika menatapku seakan meminta persetujuan.
Aku pun tersenyum. "Tentu saja. Sudah kewajiban kami untuk menjaga orang tua dan adik-adik. Jadi Mak tidak usah khawatir."
Mak Ros pun tersenyum dan membelai kepalaku. "Semoga niat baik kalian, dimudahkan oleh Allah. Semoga proses ini berjalan dengan lancar. Mak juga tidak sabar untuk segera menimang cucu."
Andika tertawa renyah. "Jauh benar pikiran, Mak. Kami aja belum nikah, sudah mikirkan punya cucu," katanya.
"Hm, tetapi ... kami berdua akan berusaha untuk memberikan cucu secepatnya setelah nikah, iya kan Dewi?" Andika melirikku dengan tatapan menggoda.
Aku hanya mampu menunduk malu. Membayangkan seorang bayi mungil di pelukanku sebagai buah cinta kami. Seketika getaran itu semakin terasa.
Apakah aku sudah mulai mencintainya? batinku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN PERAWAN TUA
Romansa(SUDAH TERBIT) Alhamdulillah. Cerita ini sudah menjadi sebuah Novel. Open PO tanggal 08 - 18 September. Harga PO Rp. 85.000. Harga normal setelah PO Rp. 95.000. BLURB Kenapa masalah jodoh ini menjadi begitu rumit? Rysha Dewi, seorang gadis usia 30...