Part 2 : Uda-ku

700 33 0
                                    


Dengan perlahan aku bangkit berdiri dari kursi plastik yang kududuki. Berjalan mendekati kepala ibuku. Kuabaikan dia yang masih menatapku dengan mata tajamnya. Anggap saja dia tidak ada.

"Mak ... Rysha pulang dulu ya. Besok pagi Rysha ke sini lagi. Mamak istirahat dan jangan lupa minum obatnya," ujarku setengah berbisik dengan suara parau. Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia menganggukkan kepala tanda setuju. Tubuhnya memang masih lemah, apalagi setelah menjalani cuci darah berulang kali.

Aku pun beranjak pergi sambil menenteng tas laptopku. Berlalu di hadapan laki-laki itu tanpa memandangnya. Aku tahu dia marah, tapi aku tak peduli. Sebagaimana dia yang juga tidak peduli dengan perasaanku.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, di atas sepeda motor butut yang kubeli second hand dari uangku sendiri, air mataku tumpah. Syukurlah tidak ada orang yang bisa melihatnya karena helm yang kupakai. Aku sendiri heran, bagaimana aku bisa selamat sampai di rumah. Seakan-akan, ada kekuatan yang menuntun sepeda motorku, sehingga aku tetap bisa melaju dengan selamat di antara lalu lintas yang padat.

Air mataku terus berjatuhan, tak mampu kuhentikan. Biarlah aku menangis dalam perjalanan tiga puluh menit ini, sehingga bapak nanti tidak bisa melihat air mataku. Hari ini, tidak akan pernah aku lupakan. Hari dimana aku sudah menganggap laki-laki itu, bukan lagi Uda-ku.

Ya, secara biologis dia memang Uda-ku. Aku, anak ketiga dari empat bersaudara. Dia adalah saudara laki-lakiku yang paling tua. Aku memanggilnya Uda, sebutan untuk saudara laki-laki yang dituakan dalam bahasa minang. Ibu dan ayahku memang orang minang.

Dia tinggal jauh dari kami di seberang pulau dengan istri dan anak-anaknya. Dia datang ketika mendapat kabar kalau ibu kami masuk rumah sakit. Dia punya pekerjaan yang mapan dengan gaji yang sangat bagus, tapi dia selalu merasa kekurangan. Biaya tiket pesawat yang mahal, selalu menjadi alasannya untuk tidak bisa pulang setiap tahun. Sungguh aneh menurutku. Dengan gaji yang dia dapatkan, sebenarnya lebih dari cukup untuk membeli tiket sekali setahun menjenguk orang tua dan adik-adiknya.

Saudara laki-lakiku yang kedua sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari kami dengan istri dan anak-anaknya. Pekerjaannya hanya sebagai guru yang mengajar di madrasah dekat rumah. Dengan hidup yang sederhana, dia tetap memperhatikan kedua orang tua kami. Setiap minggu datang berkunjung ke rumah. Istrinya yang pintar masak selalu membawa makanan kecil untuk kami.

Adikku yang paling bungsu juga sudah menikah dan punya dua orang anak. Dia melangkahiku dalam urusan pernikahan. Dan aku sudah mengikhlaskannya. Pekerjaan yang menuntutnya untuk tinggal di kota lain, seorang diri sampai berkenalan dengan istrinya yang sekarang. Beberapa tahun kemudian mereka menjalin hubungan, menurutku itu tidak baik. Bukankah lebih baik mereka menikah dan menjadi pasangan yang halal. Sebenarnya adikku ingin aku yang menikah terlebih dahulu, tapi takdir tidak bisa ditolak. Takdir yang membawaku untuk masih berstatus "single" di usia yang melewati kepala tiga.

Apakah benar aku berhati dingin dan suka memilih? Apakah aku akan jadi perawan tua selamanya? Haruskah aku menikah dengan siapa saja tanpa cek dan ricek terlebih dahulu? Apakah menikah menjadi semudah itu? Bagiku, menikah hanya sekali seumur hidup. Banyak yang harus dipertimbangkan. Ini tentang masa depan baik di dunia dan akhirat.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang