Part 6 : Arina

443 18 0
                                    

Perlahan aku bangkit dengan mata yang sembab, kepala yang berat dan tubuh yang masih terbalut mukena. Bapak menatapku dengan iba.

"Tidak usah terlalu dipikirkan, Sha. Tadi bapak sudah menelepon Uda-mu, kondisi ibumu masih stabil. Malam ini biar Erwin yang menemaninya di rumah sakit. Operasinya akan dilakukan besok sore." Laki-laki tua dengan mata teduh itu tersenyum lembut kepadaku. Dia pasti mengira kalau aku menangis karena memikirkan ibuku. Aku hanya mengangguk. Setelah melipat mukena dan sajadah, aku mengikuti langkah bapak ke ruang makan.

Rumah kami tidak terlalu besar, ada empat kamar tidur ukuran 4x4 meter, satu ruang tamu, satu ruang makan sekaligus ruang keluarga, dapur dan satu kamar mandi dekat dapur. Kamar tidurku dan orang tuaku, letaknya bersebelahan. Satu kamar tidur yang sekarang menjadi kamar tamu, terletak di tengah dekat ruang makan. Sedangkan kamar tidur satunya lagi, ada di belakang dekat dapur dan sekarang dialihfungsikan menjadi gudang untuk pakaian dan peralatan rumah tangga.

Ternyata Uda Ipdal, abangku nomor dua dan istrinya, sudah menunggu kami di meja makan. Mereka sengaja datang untuk makan malam bersama kami.

"Uni masak asam pedas ikan patin kesukaan Rysha hari ini. Ayo, duduk di sini," kata Uni Lisa, kakak iparku sambil tersenyum dan memberikan kursi untukku.

"Iya, Uni. Biar aku cuci muka dulu," jawabku sambil melangkah ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, aku duduk di samping Uni Lisa dan menerima piring yang berisi sepotong ikan patin, nasi putih dan acar timun. Aku menatap makanan tersebut dengan semangat. Beberapa hari ini, jadwal makanku tidak teratur. Aku juga tidak bisa makan dengan lahap di rumah sakit. Melihat kondisi ibu, membuat aku tidak bisa menelan apapun. Setiap saat aku selalu khawatir, bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Tetapi malam ini, aku ingin makan yang bergizi. Siapa yang akan merawat ibuku kalau aku sakit. Selain itu, asam pedas Uni Lisa sangatlah enak. Keahliannya memasak, hampir menyamai ibuku.

"Besok pagi, Uda-mu akan pulang. Dia tidak bisa menunggu sampai operasi karena pekerjaannya. Mungkin kau bisa menemuinya besok sebelum ke kantor," kata bapak memulai percakapan sebelum makan malam.

Aku menatap piringku di meja, selera makanku langsung terbang entah kemana. Aku tidak mau bertemu dengan dia, tidak sekarang, ketika hatiku masih luka. Biarlah waktu yang akan menyembuhkannya. Lagipula, aku tidak mau terus berdebat dengannya tentang masalah jodoh ini. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan fokus untuk kesembuhan ibuku.

Aku menarik nafas dengan berat "Rysha tidak bisa, Pak. Ada rapat penting di kantor besok pagi, tidak bisa ditinggalkan. Biarlah Da Ip saja yang datang ke rumah sakit besok untuk bertemu Da Win." jawabku sambil menatap Da Ip yang duduk di depanku. "Bisakan, Da? Tolong sampaikan saja salamku kepada Da Win dan keluarga," sambungku sambil menyuapkan nasi ke mulut, walau terasa pahit.

"Iya, tidak apa-apa. Kau juga tidak terlihat sehat. Sebaiknya besok malam istirahat di rumah saja. Biar Uda yang jaga mamak di rumah sakit." Da Ip menatapku dengan rasa kasihan. Dia pasti bisa melihat mataku yang bengkak karena habis menangis. Sebenarnya dia sudah menawarkan diri untuk tidur di rumah sakit setiap malam. Tapi aku menolaknya.

"Tidak usah Da, biar Rysha saja," jawabku singkat sambil mencoba menghabiskan nasi di piringku.

Setelah melewati waktu isya, aku coba untuk membuka laptop dan membaca laporan keuangan yang telah aku buat tadi siang. Besok pagi memang ada rapat untuk membahas keuangan di radio. Deretan angka-angka membuat kepalaku semakin pusing. Akhirnya aku hanya merebahkan diri di kasur dan memijit keningku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi tanda SMS masuk. Dari teman dekatku, Arina. Dia berusaha menjodohkanku dengan abang sepupunya. Aku membaca SMS Arina dengan hati kecewa.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang