Netra menatap rumah penduduk, ladang, dan pepohonan di sepanjang jalan menuju danau maninjau. Duduk sendirian di bangku belakang bus dengan hanya membawa sebuah tas kecil berisi dompet dan ponsel. Setelah membaca surat dari pengirim gelap itu, aku memutuskan untuk kembali ke sini dan menghadapi ketakutan yang selama ini menghantui.
Tidak ada yang tahu, apakah si pengirim surat itu sama dengan si penguntit yang mengirim SMS. Aku tidak peduli, lebih tepatnya jiwa dan raga sudah lelah. Peristiwa itu sudah lama terjadi, tetapi masih membayangi setiap langkahku. Saat ini aku akan menghadapinya, apa pun yang akan terjadi.
Bunyi SMS masuk membuyarkan lamunanku.
{Kamu lagi di mana? Sudah putuskan tempatnya? Jangan lupa jam lima sore ini, ya.}
Sebuah SMS dari Andika. Aku sampai lupa tentang janji pertemuan kami sore ini. Siang tadi aku langsung minta ijin keluar kantor dan menitipkan motor ke Pak Agus. Jariku mengetik SMS balasan untuk Andika dan tiba-tiba ...tut ... tut ... baterai ponselku tinggal lima persen. Aku menarik napas frustasi.
Kenapa aku bisa sebodoh ini? rutukku.
Aku juga belum sempat memberitahu orang di rumah tentang kepergianku.
Apakah tadi aku sudah memberitahu Pak Agus tentang tujuanku? batinku.
Aku mencoba mengingat-ngingat tapi otak tidak bisa lagi bekerja secara sempurna. Hati yang kalut, kesedihan yang memuncak dan ketakutan membuat susah berpikir. Yang kuinginkan hanyalah menyelesaikan semua ini.
Bus yang kutumpangi terus melaju kencang, satu persatu Kelok Ampek Puluh Ampek kami lewati. Pemandangan yang luar biasa. Tiap belokan yang benar-benar berjumlah 44 ini merupakan belokan patah atau tapal kuda. Aku berusaha menahan mual di perut, seketika ada rasa sesal karena tidak menghabiskan bekal makan siang tadi.
Sekuat tenaga, aku berusaha mengalihkan rasa mual yang menyerang. Netra memandang keindahan danau maninjau yang membius kalbu. Danau vulkanik ini terletak di kabupaten Agam, seratus empat puluh kilometer dari Padang atau tiga puluh enam kilometer dari Bukittinggi.
Sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak ke sini, semenjak peristiwa kecelakaan itu. Perlahan aku memejamkan mata. Potongan kenangan itu kembali hadir, satu demi satu, membawaku kembali ke masa itu.
***
Sembilan tahun yang lalu ...
Memasuki tahun pertama sejak perpisahan kami, Aldo masih rutin mengirimkan surat untukku. Dia menceritakan tentang kuliah, teman-teman dan pekerjaan paruh waktu yang dia dapatkan di sebuah restoran. Aku menikmati setiap berita dalam suratnya, seakan dia sedang bercerita di depanku.
Arina memang benar, sudah ada email dan telepon yang sebenarnya sangat memudahkan kami. Aku juga menerima email singkat dari Aldo setiap kali dia sempat mengirimkannya. Kadang kala kami juga berbicara ditelepon untuk beberapa menit. Tetapi tetap saja, surat menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Aku menyimpan surat-surat beserta gelang kayu gaharu pemberiannya di dalam sebuah kotak yang tersimpan rapi di lemari. Setiap kali ada keluarga yang bertanya tentang surat yang aku terima, selalu saja kusebut dari sahabat pena.
Ketika memasuki semester akhir masa kuliah, aku menjadi semakin giat belajar, terutama memperdalam bahasa Inggris. Tujuan sudah jelas, aku akan menyusul Aldo untuk kuliah di sana.
Aku selalu sibuk mengikuti kursus dan menyelesaikan skripsi, hampir tidak ada waktu untuk bermain-main. Bahkan latihan taekwondo juga terpaksa dihentikan selama masa sibuk ini.
Sedangkan Aldo sangat senang mendengar perjuanganku untuk mendapatkan beasiswa. Dia selalu memberikan dukungan dan semangat melalui email atau SMS. Tetapi suratnya sudah semakin jarang aku terima. Dia mengaku sangat sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya. Aku pun bisa memaklumi. Bukankah kami berdua sedang bekerja keras untuk masa depan kami. Selain itu dia juga harus berhemat dan menyimpan uangnya.
Akhirnya aku, Arina dan Shifa berhasil menyelesaikan kuliah kami dengan nilai yang memuaskan. Bapak dan ibuku hadir dalam acara wisuda. Sungguh, aku sangat merindukan Aldo pada saat itu.
Setelah wisuda, Shifa kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta. Sedangkan Arina, mendapat pekerjaan di kantor orang tuanya. Aku masih menunggu pengumuman beasiswa untuk ke Australia. Pada saat itulah kami mendapat kabar kalau Shifa akan menikah dalam waktu tiga bulan. Ternyata orang tunya sudah menjodohkan Shifa dan dia tidak bisa menolaknya. Kami berdua hanya bisa mendoakan kebahagiaan Shifa.
Pada saat wawancara untuk beasiswa dilakukan, bapak mendadak sakit di bagian perutnya. Kami pun melarikan bapak ke rumah sakit. Ternyata bapak menderita usus buntu dan harus segera di operasi. Tidak ada pilihan lain, operasi harus dilakukan secepatnya. Karena itulah, aku tidak bisa mengikuti wawancara penerimaan beasiswa tersebut. Takdir hidupku dan Aldo sudah ditentukan.
***
"Uni nio turun di danau maninjau? Alah sampai, Ni," tegur seseorang yang membuyarkan lamunanku.
"Oh, iyo. Makasih, Da." Aku pun melangkah keluar bus.
Perlahan menarik napas panjang dan memasukkan sebanyak mungkin udara ke rongga dada. Netra menatap sekeliling, udara sore itu terasa sedikit dingin. Aku pun melangkah menuju tempat perjanjian itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN PERAWAN TUA
Romance(SUDAH TERBIT) Alhamdulillah. Cerita ini sudah menjadi sebuah Novel. Open PO tanggal 08 - 18 September. Harga PO Rp. 85.000. Harga normal setelah PO Rp. 95.000. BLURB Kenapa masalah jodoh ini menjadi begitu rumit? Rysha Dewi, seorang gadis usia 30...