Part 84 : Obsesi Putri

163 16 2
                                    

Putri mencoba bunuh diri di kamarnya dengan cara mengiris lengan dengan silet di pagi lebaran. Untungnya Rahma, juga tidak pulang kampung dan mengetahui keadaan Putri tepat waktu. Rahmalah yang memberitahu teman-teman Putri. Haruskah aku ke rumah sakit sekarang? Hatiku sedikit bimbang, mengingat hubunganku yang tidak begitu baik dengan Putri.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengirim SMS.

{Maaf Rahma, tadi kakak sibuk sekali dengan para tamu. Kakak sudah tahu keadaan Putri dari Ni Fit. Bagaimana Putri sekarang? Apakah ada yang menjaga Putri malam ini?}

Beberapa menit kemudian, Rahma membalas SMS-ku.

{Dia sudah siuman dan kondisinya sudah mulai stabil, Kak. Tidak apa-apa kalau tidak bisa datang malam ini, sudah ada Bang Dika di sini}

Aku membaca SMS Rahma dengan hati bergetar. Ada apa di antara mereka berdua? Akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi Putri keesokan harinya.

***

Setelah meminta izin kepada Bapak, aku pun berangkat ke rumah sakit. Kakiku menyusuri lorong rumah sakit dengan cepat dengan sekantong plastik buah-buahan, roti tawar dan makanan ada di tangan. Putri tidak memiliki keluarga di sini, hanya teman-teman yang bisa membantunya. Walau hubungan dengan Putri tidak baik, bukan berarti aku tidak punya hati nurani dengan memusuhinya dalam kondisi seperti ini.

Aku memasuki kamar melati nomor 04, ada dua tempat tidur pasien di dalamnya. Netra segera tertuju kepada Putri yang berbaring seorang diri. Matanya terpejam, wajah cantiknya terlihat pucat. Lengan kirinya dibalut perban putih dan selang infus di lengan kanannya. Aku tidak melihat Andika atau Rahma, yang berarti kalau Putri sendirian siang ini.

Perlahan aku duduk di samping ranjang Putri setelah meletakkan makanan di meja. Putri pun terbangun dan membuka matanya. Dia memandangku dengan sayu, aku pun mencoba tersenyum dan menyapanya.

"Bagaimana keadaanmu? Maaf, baru bisa datang sekarang," kataku.

Dia memalingkan muka, setitik air mulai mengalir dari sudut matanya.

"Kenapa kau datang ke sini? Apakah kau mau melihat kekalahanku?" ujarnya setengah berbisik.

"Apa maksudmu, Put? Tidak ada kalah dan menang di antara kita. Aku ke sini sebagai seorang teman."

Dia memalingkan wajahnya ke arahku. "Teman? Kaulah penyebab semua ini. Kau mengambil orang yang kucintai. Aku telah melakukan semuanya, tetapi ... Bang Dika semakin membenciku," kata Putri sambil terisak.

Aku menarik napas dalam, mencoba mengatur suaraku supaya tetap tenang. "Aku tidak pernah mengambilnya darimu, dia memang tidak pernah menjadi milikmu ataupun milikku. Tidak ada yang salah dengan cintamu, tetapi caramu mencintainya yang salah."

Putri pun mulai terisak. "Aku sangat mencintainya, tetapi dia tidak pernah melirikku. Bahkan setelah dia mengetahui masa lalumu, dia tetap mencintaimu."

Aku pun tersentak kaget. "Apa maksudmu? Apakah ... kau yang telah menfitnahku di hadapan Mak Ros?"

Putri pun tersenyum. "Kau terkejut bukan? Kau pasti bertanya dari mana aku mengetahui semuanya. Baiklah, aku akan memberitahumu. Aku tahu tentang cerita itu dari Handoko, mantan pacarmu. Aku mengunjunginya di penjara dan dia menceritakan semuanya."

"Kau ... kenapa bisa sekeji ini?" kataku sambil beristighfar dalam hati.

"Bukankah sudah kukatakan kalau aku akan melakukan apa pun untuk Bang Dika?" kata Putri dengan bibir bergetar.

"Cinta benar-benar membuatmu menjadi gila. Oh tidak, itu bukan cinta, tetapi obsesi dan nafsu untuk menguasai," kataku sambil berdiri.

"Apakah menurutmu, Andika akan mencintai dan menikahimu jika kau seperti ini? Menfitnah, posesif dan memaksa orang lain mengikuti kemauanmu dengan cara bunuh diri?" Aku memandang Putri dengan rasa kasihan.

"Aku yang akan menikahinya." Tiba-tiba seorang laki-laki muda berkulit putih dan berwajah tampan sudah berdiri di belakangku. Pemuda itu seperti baru datang dari tempat yang jauh karena tas ransel di punggung dan juga koper kecil yang ada di tangannya.

"Kang ... Adit?" Putri menatap laki-laki tersebut dengan terkejut.

Laki-laki yang bernama Adit itu mengangguk dan tersenyum. Dia mendekati tempat tidur Putri.

"Ya, aku di sini sekarang. Setelah mendapat kabar dari Dinda, aku langsung pesan tiket. Sayangnya semua penerbangan sudah penuh kemarin. Bagaimana keadaanmu?" Adit memegang tangan Putri dengan lembut. Putri memalingkan wajahnya dari Adit.

"Seharusnya Dinda tidak perlu memberitahumu," kata Putri.

"Kenapa tidak? Dia 'kan adikmu dan aku calon suamimu," kata Adit dengan mantap. Putri hanya terdiam.

Aku memandang mereka berdua dengan kening berkerut. Siapakah Adit ini? Apakah pacar Putri yang di Bandung?

Aditya berpaling padaku dan tersenyum. "Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Aditya, calon suami Putri," katanya sambil mengulurkan tangan.

"Calon suami? Apakah kalian sudah bertunangan?" tanyaku penasaran.

"Belum, tetapi kami akan segera bertunangan dan menikah. Aku sudah melamar Putri kepada orang tuanya," kata Aditya.

"Oh, benarkah?" Aku menatap Putri dengan heran.

"Aku sudah menolak lamaranmu, Kang. Kenapa kau tidak berhenti saja mengejarku?" kata Putri pelan.

Aditya tertawa. "Kalau kau saja tidak menyerah dengan cari mengiris lenganmu hanya karena cinta kepada laki-laki lain, kenapa aku harus menyerah?" kata Aditya dengan percaya diri.

Aku pun tersenyum, ternyata kisah ini menjadi semakin rumit. Bukan hanya cinta segitiga di antara kami, tetapi cinta segi empat atau mungkin lebih.

***

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang