Part 37 : Luka Lama

212 15 0
                                    

Aku melangkahkan kaki menyusuri jembatan Limpapeh menuju lokasi benteng Fort de Kock. Banyak turis lokal yang lalu lalang di jembatan yang dibangun tahun 1995 dengan warna dominan kuning dan merah. Jembatan ini menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort de Kock.

Sebuah pohon tinggi di taman dekat benteng menarik perhatianku, perlahan kulangkahkan kaki ke sana. Pohonnya masih sama, tempat kami duduk bersama sambil menikmati kacang rebus dan mendengarkan suara gitar Aldo.

Masa-masa indah kita dulu memang tidak bisa dilupakan ... andai kau masih di sini. Apakah kau membenciku? Apakah kau tenang di sana? batinku.

Tiba-tiba aku merasakan kesedihan yang tak terkatakan, perlahan air bening membasahi pipiku. Beberapa menit lamanya, akupun terisak pilu.

Seketika aku tersadar, Kenapa aku ke sini? Aku tidak seharusnya bersikap sentimentil seperti ini, batinku. Aku pun berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan kenangan dan luka hati.

Aku mencoba menghabiskan sisa waktu yang ada untuk menikmati keindahan Ngarai Sihanok. Banyak orang yang tidak suka jalan sendirian, aku justru sangat menikmati kesendirian. Bagiku jalan sendirian dapat mengurangi stress dan depresi. Aku juga bisa berpikir dan melakukan instropeksi diri.

Kepulanganku ke Padang bukan tanpa alasan. Setelah tragedi dan kepergian Aldo, aku menjadi menutup diri. Aku memutuskan pindah ke Jakarta dan menyibukkan diri dengan pekerjaan baruku hingga berjumpa dengan Handoko. Awalnya tidak ada perasaan cinta, tetapi dia terus berusaha untuk merebut hatiku. Sifat Handoko yang kebapakan, dewasa dan sabar akhirnya membuatku luluh. Bukankah lebih baik dicintai seseorang daripada mencintai seseorang.

Kami pun memutuskan untuk jalan bersama sebagai kekasih, hingga aku berpikir bahwa dia akan menjadi jodohku. Akupun menceritakan semua masa laluku kepada Handoko, dia mau menerimaku apa adanya. Penerimaannya membuatku mulai mencintai dan mempercayainya. Aku bahkan sudah siap untuk memperkenalkannya dengan keluargaku tahun ini. Tetapi semua kebaikannya ternyata palsu. Bagaimanapun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Syukurlah aku mengetahui kebusukannya, tepat pada waktunya sehingga aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Bagiku, cerita tentang Handoko sudah selesai, tidak ada yang perlu diungkit lagi. Sekarang waktunya untuk menyongsong masa depan dan menutup bab tentang drama percintaan.

Setelah menikmati keindahan panorama Ngarai Sihanok, aku kembali ke toko Tek Marni yang sudah menungguku. Kami pun naik motor bersama ke rumahnya yang terletak tidak jauh dari pusat kota Bukit Tinggi.

"Jadi bulan apa pesta Yandi di Aceh, Uni?" tanya Nova membuka percakapan setelah makan malam.

"Bulan September. Siapa yang bisa ikut ke Aceh? Etek dan Nova?" tanyaku.

"Etek belum tahu lagi. Kalau Etek tak bisa, Nova dan suaminya saja yang pergi," kata Tek Marni.

"Lho, kok tak bisa, Tek. Transportasi dan semuanya sudah di tanggung, Etek tinggal bawa baju saja," kataku sambil menatap adik ibuku yang masih terlihat lebih muda dari usianya.

"Iya, Mak. Kita harus pergi. Lagipula tidak bakalan ada pesta di Padang, kenapa tak ramaikan pesta dia di Aceh. Ini demi nama baik keluarga kita juga. Kalau sedikit yang datang, apa kata keluarga calon istrinya nanti," bujuk Nova sambil menatap penuh harap kepada ibunya.

"Pak Tuo dan Mak Tuo kau di Padang Panjang, pergi juga?" tanya Tek Marni.

"Iya, InshaAllah," jawabku.

"Ahh ... kalau begitu Etek juga pergi. Kalau tidak pergi, habislah Etek diceramahi sama Pak Tuo kalian," kata Tek Marni dengan wajah sedikit cemberut.

Dia memang paling segan dengan Pak Tuo. Aku dan Nova saling pandang dan tersenyum. Misiku sudah selesai. Besok pagi aku akan kembali ke Padang dan mulai buka lembaran hidup baru dengan pekerjaan baru. Semoga saja.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang