Part 9 : Tembang Kenangan

441 17 0
                                    

Aku melangkah cepat menaiki tangga menuju lantai dua di gedung tempatku bekerja. Rapat keuangan pagi ini, disambung dengan pembukuan yang harus selesai siang hari membuatku seperti dikejar-kejar waktu.

Aku melirik jam dinding yang ada di dekat tangga lantai dua. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum temanku, Andika menutup siarannya. Aku menarik nafas perlahan sambil duduk di sofa yang ada di samping pintu masuk studio. Hanya penyiar yang sedang bertugas saja yang boleh masuk ke dalam studio.

Tugasku hari ini membawakan program "Tembang Kenangan" yang cukup banyak pendengar setianya. Terbukti dengan banyaknya telepon yang kuterima selama siaran. Sebagian besar pendengar menyukai lagu-lagu lawas di tahun 80-an. "Old is gold". Peribahasa itu memang cocok untuk lagu-lagu kenangan ini. Suara merdu Betharia Sonata, Muchlas Adi Putra, Maya Angela, Ratih Purwasih, Emilia Contessa dan lain-lain tidak lekang oleh waktu.

Selain bertanggung jawab terhadap pembukuan dan program tembang kenangan, aku juga diberikan beberapa program yang lain. Stasiun radio ini memang tergolong masih baru. Karena itu beberapa staff diperbantukan untuk siaran, sesuai dengan vokal suara dan kemampuan mereka.

Aku harus menyelesaikan program ini dalam waktu satu jam dan berangkat ke rumah sakit untuk mengurus operasi ibuku sore ini. Bapak dan Da Ip sudah ada di rumah sakit. Sedangkan Uda-ku yang paling tua, sudah kembali kepada kehidupannya, bersama istri dan anak-anaknya. Kami berdua memang jarang bertemu, mungkin hanya tiga atau lima tahun sekali. Seharusnya momen pertemuan ini menjadi momen yang berkesan, namun apa daya, semua seperti tak terduga. Tiba-tiba mataku mulai berkaca-kaca.

Tidak, Rysha, jangan menangis lagi. Kau perempuan yang kuat. Ingat, pendengarmu bisa merasakan emosimu, bisik batinku yang segera membuatku tersadar bahw ada tugas yang harus ditunaikan.

Andika membuka pintu studio dan berjalan ke arahku.

"Hai, Kak," sapanya sambil tersenyum.

"Hai," kataku sambil berusaha membalas senyumannya.

Dia memanggilku kakak karena usia kami yang berbeda lima tahun. Laki-laki tampan berkulit putih ini memang lebih muda dariku.

"Siap untuk siaran?" Dia memperhatikanku dengan alis yang terangkat. Mungkin dia bisa membaca kesedihan di wajahku. Semua temanku di radio ini sudah mengetahui tentang keadaan ibuku. Bahkan beberapa di antara mereka sudah berkunjung ke rumah sakit, termasuk Andika.

"Yup. Aku masuk dulu, ya!" Aku menutup pintu studio di belakang Andika yang masih terus memperhatikanku melalui mata elangnya.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghitung sampai sepuluh, berusaha mengatur emosi dan suaraku. Sudah waktunya untuk on air. Aku bersiap untuk membuka siaran sambil berdoa semoga suaraku tidak berubah sama sekali.

Aku pun mulai membuka siaran, "90,2 FM, Radio Mentari , Padang. Dengan Dewi Mentari di sini menemani anda semua dalam program tembang kenangan. Apa kabar sahabat Mentari, semoga anda semua dalam keadaaan sehat dan selalu bahagia. Sebuah lagu manis dari Maya Angela dan Muchlas Adi Putra mengawali kebersamaan kita di siang ini, khusus untuk anda, sahabat setia Mentari FM. Kau Tercipta Dari Tulang Rusukku."

Perlahan suara emas Maya Angela masuk ke gendang telingaku, membawaku terbang ke masa lalu. Mengingatkanku akan dirinya, yang sudah tenang di alam sana.

Untuk siapa aku dilahirkan

Ke dunia fana, sayang ...

Harusnya engkau percaya

Bahwa aku terlahir

Dari tulang rusukmu

Yang hilang satu ...

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang