Part 35 : Tentang Rasa

234 11 0
                                    


Setelah menyantap nasi putih hangat dengan gulai gajeboh serta ulam sayur timun dan rimbang rebus, kami bertiga duduk di teras belakang rumah pak tuo Rizal. Teras belakang ini langsung berhadapan dengan kebun yang di tumbuhi oleh berbagai macam tanaman seperti pohon rambutan, jeruk purut dan pohon salam. Selain itu ada beberapa rempah-rempah di pot yang tersusun rapi seperti kunyit, serai dan kencur. Sepertinya mak tuo tidak perlu membeli rempah-rempah lagi untuk memasak sehari-hari.

"Jadi Yandi akan menikah tiga bulan lagi? Sampai sejauh mana persiapan keluarga di Padang? Apakah kita juga akan pesta di sini?" tanya Pak Tuo.

"Iya, Pak Tuo. Pestanya bulan September di Aceh. Mamak tidak mau buat pesta di sini, katanya cukup mendoa kecil-kecilan saja. Mungkin nanti kita akan undang tetangga dan keluarga dekat, ketika Yandi memboyong istrinya ke Padang," jawabku.

Pak tuo menghela nafas panjang. "Pasti karena kau belum menikah, Yandi melangkahimu. Aku harap kalian mengambil keputusan yang tepat," katanya sambil menatapku, seakan ingin mengetahui isi hatiku.

"InshaAllah, ini yang terbaik buat kita semua. Yandi juga sudah cukup umur. Lagipula dia tinggal jauh dari kami, siapa yang akan menjaganya?" kataku sambil tersenyum.

"Pak Tuo dan Mak Tuo jangan khawatir, aku baik-baik saja," lanjutku.

"Ahh, kau memang pandai menyimpan rasa, dari dulu selalu tertutup. Bagaimanapun Pak Tuo tahu perasaanmu." kata Pak tuo Rizal.

"Kapan kau mau balik ke Jakarta? Bagaimana dengan pekerjaan di sana?" tanya Mak tuo sambil meletakkan secangkir kopi panas di meja untuk Pak tuo.

"Rysha akan menetap di Padang, Mak tuo. Pekerjaan di Jakarta sudah dilepaskan." jawabku sambil menatap sepasang burung gereja yang hinggap di pohon salam.

"Kenapa?" tanya Mak Tuo

"Jangan kau tanya kenapa! Baguslah, dia balik ke Padang, ada yang akan menjaga orang tuanya," kata Pak Tuo. Aku pun hanya tersenyum.

"Jadi sudah ada pekerjaan di Padang?" tanya Mak tuo lagi.

Aku pun menggelengkan kepala, " Rysha belum sempat masukkan lamaran, mungkin bulan depan."

"Oh ya, Pak Tuo punya seorang teman di Padang. Namanya Bastian Tito, dia baru mendirikan sebuah stasiun radio dan membutuhkan tenaga keuangan, mungkin kau bisa mencoba bekerja di sana," kata Pak tuo sambil mengambil ponsel di sakunya.

"Bagaimana? Kalau mau, Pak Tuo telepon dia sekarang," tanyanya menunggu persetujuanku.

'Bekerja di sebuah stasiun radio? Baiklah. Mungkin aku bisa mendapatkan suasana baru dengan orang-orang baru,' batinku.

"Iya, Pak Tuo. Tidak apa-apa, kalau memang ada lowongan pekerjaan di sana. Tetapi Rysha baru balik ke Padang minggu depan," jawabku sambil mengangguk setuju.

Pak Tuo berdiri dari tempat duduknya dan menelepon Bastian Tito, temannya. Aku dapat melihat keakraban di antara mereka berdua melalui nada bicara Pak Tuo. Beberapa menit kemudian Pak Tuo kembali duduk bersama kami.

"Bastian bilang, kau bisa masukkan lamaran minggu depan. Semoga kau diterima bekerja di stasiun radio itu. Dia orang yang sangat baik, kaya tapi tidak sombong!" tegas Pak Tuo.

"Memangnya kenal di mana sama dia, Pak Uo?" tanyaku penasaran.

"Dia teman baik Pak Tuo kau, sama-sama pensiunan tentara," kata Mak tuo yang kembali datang sambil membawa pisang goreng hangat.

"Oh, begitu. Mak Tuo, jangan masak terus. Biar nanti Rysha yang masak selama di sini," kataku tak enak hati melihat mak tuo yang selalu sibuk di dapur.

Mak tuo tertawa, "Besok kau masak gulai itiak, bisa?"

Aku pun menggelengkan kepala dan mengangkat satu tangan tanda menyerah. Gulai itiak khas minang bagiku merupakan masakan yang cukup sulit. Aku menyerah. 

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang