Part 11 : Bapak

402 16 1
                                    

Apa yang kita pikirkan, maka itulah yang akan terjadi. Karena itu aku berusaha keras untuk menepis semua pikiran buruk yang datang silih berganti. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada ibuku. Bagaimana kalau kakinya harus diamputasi. Bagaimana kalau ibuku pergi sebelum melihatku menikah. Bagaimana ....

Aku duduk di kursi tunggu depan ruang operasi, ditemani oleh Ni Lisa. Sedangkan bapak duduk agak menjauh dari kami, sendirian. Mungkin dia tidak mau kami melihat air matanya. Diam-diam aku memperhatikan bapak menangis. Selama ini, aku tidak pernah melihatnya menitikkan air mata. Bagaimanapun dia seorang laki-laki yang sangat tegar.

Pernikahan mereka merupakan hasil perjodohan. Sangat jarang kita mendengar orang tua kita dulu berpacaran seperti anak jaman sekarang. Perjodohan antar keluarga ini, sudah biasa terjadi di kampung kami, tetapi tentu saja tidak seperti perjodohan ala Siti Nurbaya. Perbedaan umur kedua orang tuaku hanya tiga tahun.

Banyak orang yang tidak bahagia dengan pernikahannya karena dijodohkan. Namun tidak dengan kedua orang tuaku, mungkin karena pikiran mereka yang masih sederhana. Sepanjang yang aku ingat, tidak pernah orang tuaku bertengkar hebat. Jika ada masalah, mereka berdua hanya saling diam, namun berbaikan kembali setelah beberapa hari. Seperti itulah, romantisme rumah tangga mereka. Saling mendukung, menyayangi dan mencintai dengan cara mereka sendiri.

Sudah pukul delapan malam, tapi operasi ibuku masih belum selesai. Da Ipdal datang dengan membawa beberapa bungkus nasi untuk makan malam kami. Bapak juga ikut bergabung duduk bersama kami. Ni Lisa memang tidak sempat membawa makanan dari rumah. Bahkan anak-anak mereka pun harus ditinggalkan di rumah orang tua Ni Lisa.

"Kita makan dulu, entah sampai jam berapa operasinya akan selesai. Jangan sampai yang menunggu jadi sakit," kata Da Ip sambil memberikan sebungkus nasi kepadaku. Sungguh, aku tidak selera untuk makan. Tapi Da Ip juga benar, kami semua harus makan untuk menjaga kesehatan kami, agar bisa merawat ibu kami.

"Malam ini biar Uda yang tugas jaga di rumah sakit. Wajahmu sudah terlihat pucat. Pulanglah bersama Bapak dan Lisa," kata Da Ip membuka percakapan di antara kami.

"Tidak, Da. Biar Rysha di sini jaga Mamak. Uda saja yang pulang," jawabku dengan tegas.

"Sha, Ipdal benar. Sudah beberapa malam, kau selalu begadang dan kurang istirahat. Siang juga tetap bekerja. Itu tidak bagus. Malam ini istirahat di rumah saja, besok pagi baru ke sini lagi untuk jaga ibumu," kata bapak kepadaku dengan lembut.

Aku menarik nafas berat. Walau tubuhku sakit, aku tidak mau meninggalkan ibuku sendirian. Hampir satu minggu ini, aku selalu menjaga ibuku setiap malam. Namun tubuhku juga punya hak untuk istirahat. Mungkin malam ini aku harus istirahat di rumah, batinku.

"Baiklah, Da. Malam ini Rysha tidur di rumah. Tetapi kita pastikan dulu kondisi Mamak setelah operasi ini," jawabku sambil menyelesaikan makan malamku yang hanya beberapa suap.

Nasi padang ini tidak terasa lezat lagi di lidahku. Biasanya aku bisa menghabiskan satu bungkus nasi tanpa sisa. Walau pun biasa makan banyak, tapi tubuhku masih tetap langsing. Itu adalah salah satu nikmat yang paling aku syukuri.

Setelah makan malam, kami semua hanya duduk hening, hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Lebih baik kita berzikir yuk, Sha. Daripada berdiam diri dan bersedih hati, nanti setan bisa masuk," kata kakak iparku yang berjilbab besar itu sambil memberikan sebuah zikir kepadaku. Aku menerimanya sambil mengangguk. Belum sampai lima puluh zikir yang keluar dari bibirku, pintu ruang operasi pun terbuka. Seorang perawat laki-laki memakai seragam hijau berdiri dengan membawa sebuah berkas.

"Keluarga ibu Nur Afni." Dia berkata sambil memandang ke arah para penunggu pasien. Seketika kami semua berdiri dan berlari ke arahnya.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang