Part 36 : Kota Kenangan

228 11 0
                                    

Setelah menghabiskan tiga malam di Padang Panjang, pagi ini aku berangkat ke Bukit Tinggi untuk mengunjungi Etek Marni dan keluarganya. Etek Marni mempunyai toko pakaian di pasar atas, dekat dengan jam gadang. Adik ibuku ini, sudah lama menjadi janda. Suaminya meninggal ketika anaknya yang paling besar, Da Rashid, berusia lima belas tahun. Setelah itu dia berjuang mencari nafkah sendiri untuk membesarkan kedua anaknya, Da Rashid dan Nova. Nova lebih muda dari diriku dan baru saja menikah setahun yang lalu.

Aku berencana menghabiskan waktu seharian ini untuk menjelajah kota Bukit Tinggi karena Etek Marni pasti sibuk di toko bajunya dan Nova juga harus bekerja sebagai pegawai kelurahan, biasanya rumah mereka kosong pada siang hari. Sedangkan Da Rashid dan keluarganya tinggal di Pekanbaru.

Perlahan kulangkahkan kaki menyusuri Jam Gadang yang merupakan pusat penanda kota Bukit Tinggi. Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Aku duduk di salah satu bangku yang ada di taman dekat Jam Gadang sambil mengamati orang yang lalu lalang dan para pedagang yang sibuk menjajakan dagangannya. Jam Gadang ini telah menjadi salah satu objek wisata terkenal yang banyak dikunjungi di Bukit Tinggi, baik oleh turis lokal maupun manca negara. Aku mengamati rombongan turis luar negeri yang sedang memperhatikan penjelasan dari seorang pemandu wisata. Hal yang paling kukagumi dari Jam Gadang adalah material yang digunakan untuk membangun bangunan tinggi ini hanya terdiri dari kapur, putih telur dan pasir putih.

Menjelang tengah hari, aku pun berjalan kaki menuju museum rumah kelahiran Bung Hatta. Rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sebenarnya sudah runtuh di tahun 1960-an. Tetapi rumah tersebut dibangun ulang mengikuti bentuk aslinya yang dapat dilihat di memoir Bung Hatta. Sebagian besar perabotan di dalam rumah masih asli dari peninggalan masa kecil Bung Hatta. Aku mengamati foto-foto yang ada di dalam rumah tersebut, ada rasa bangga dalam hati bahwa salah satu putra terbaik dari tanah kelahiranku menjadi Bapak Proklamator bangsa ini.

Azan zuhur yang berkumandang memanggilku untuk menunaikan kewajiban sholat zuhur di Masjid Raya Bukit Tinggi. Setelah itu aku mencari warung nasi kapau terdekat untuk memenuhi hak perut yang sudah minta untuk diisi. Kali ini aku memilih dendeng balado dan nasi putih. Bukit Tinggi memang terkenal dengan wisata kulinernya. Setelah makan siang, aku bergegas ke toko baju Tek Marni.

"Assalamuaalaikum. Etek, apa kabar?" kataku ketika melihat Tek Marni sedang sibuk memasukkan beberapa baju ke plastik.

"Waalaikumsalam. Rysha ... kapan datang? Kenapa tidak kasih kabar ke Etek? Tiba-tiba saja sudah berdiri di sini," jawab Tek Marni sambil memelukku erat.

"Udah dari pagi, Tek. Tadi jalan-jalan ke Jam Gadang dulu," kataku sambil duduk di bangku plastik yang ada di toko tersebut.

"Apa kabar Mamak dan Bapak, sehatkan?"tanya Tek Marni lagi.

"Iya, sehat semuanya. Mamak mau menanyakan kepastian untuk pesta Yandi di Aceh. Masih tiga bulan lagi, Etek bisa ikutkan?" tanyaku sambil berdiri memberi ruang kepada beberapa calon pembeli yang datang ke toko.

"Sebentar ya, Etek ladeni pembeli dulu," katanya sambil menunjukkan beberapa barang yang ingin dilihat pembeli.

Aku pun tersenyum dan mengangguk. Etek Marni tidak berubah, dia selalu sigap, ceria dan pandai berbicara. Aku mengamati isi tokonya yang cukup padat dengan berbagai jenis pakaian. Setelah tawar menawar beberapa menit, dia berhasil menjual dua pasang baju gamis.

"Alhamdulillah, banyak rejeki Etek hari ini ya," kataku setelah pembeli meninggalkan toko Tek Marni.

"Alhamdulillah, rejeki seorang janda," katanya sambil tertawa.

"Kau sudah makan? Biar Etek pesankan nasi kapau," katanya sambil mengambil ponsel.

"Sudah, Tek. Tadi sholat di Masjid Raya, baru makan nasi kapau sebelum ke sini," jawabku.

"Eh, Rysha nginap di rumah malam ini ya, Tek. Nanti sore Rysha ke sini lagi. Mau jalan-jalan ke benteng dan jembatan Limpapeh, kalau sempat nanti ke Ngarai. Etek tutup jam enam sorekan?" tanyaku sambil meletakkan tas ransel yang berisi pakaianku di pojok toko.

"Iya, sekitar jam enam sore. Etek tunggu di sini ya," ujarnya.

Aku pun melangkah keluar toko dan menuju ke benteng Fort de Kock yang berjarak sekitar delapan ratus meter dari pasar ini. Ada yang ingin kulakukan di sana, sekedar mengingat masa lalu dengan Aldo.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang