Part 3 : Silent Killer

620 29 0
                                    

Ibuku, seorang wanita yang kuat dan pekerja keras. Dia ikut berdagang di pasar untuk membantu ekonomi keluarga, bahu membahu dengan bapak, sampai kami semua mendapat gelar sarjana. Pagi hari setelah subuh, dia berangkat ke pasar. Siangnya, pulang ke rumah dan memasak untuk keluarga. Hingga beberapa tahun yang lalu, dia berhenti berdagang dan memilih istirahat di rumah. Alasannya sederhana, kami semua sudah mandiri. Orang tuaku juga punya beberapa rumah petak yang uang sewanya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ketika dia hendak menikmati masa istirahatnya, penyakit itu pun datang. Awalnya aku tidak menyadari perubahan tubuh ibuku. Dulu, dia sangat gemuk, tetapi secara perlahan menjadi kurus. Aku pikir itu perubahan yang normal karena dia sudah beranjak tua. Tapi ternyata aku salah. Ada "silent killer" yang terlambat aku kenali.

Luka kecil di jari tengah kaki kiri ibuku, tiba-tiba melebar dalam hitungan hari. Pertolongan pertama yang aku lakukan untuk menutup luka itu telah gagal. Luka itu semakin membesar dan melebar bahkan bernanah. Rasa sakit karena infeksi luka tersebut, membuat ibuku merintih kesakitan setiap hari. Bahkan pertolongan dengan lintah pun sudah kami lakukan. Ada yang mengatakan kalau lintah bisa menghisap darah kotor. Aku pun membawa ibuku ke rumah seorang teman yang ayahnya membuka praktek pengobatan tradisional dengan lintah. Entah sudah berapa lintah yang menghisap darah di kaki ibuku, tapi lukanya tidak kunjung membaik.

Akhirnya kami memutuskan untuk membawa ibuku ke dokter, walaupun dia menolaknya mentah-mentah. Dia memang tidak suka ke dokter. Selama ini ibuku termasuk orang yang jarang sakit dan minum obat. Infeksi di kaki tersebut membuat ibuku mengalami demam dan dia pun sering mengigau dalam tidurnya. Aku tidak tahan lagi. Akhirnya aku memanggil ambulan dan membawanya ke rumah sakit ditemani bapak.

Setelah menjalani pemeriksaan lengkap, dokter mendiagnosa ibuku menderita penyakit gula atau diabetes melitus. Gula darahnya terlalu tinggi, hal itulah yang menyebabkan luka di kakinya susah untuk sembuh. Bukan hanya itu, diabetes juga telah merusak ginjal ibuku, sehingga dia harus menjalani cuci darah sebelum dokter melakukan operasi terhadap luka di kakinya. Kami tidak punya pilihan lain, tindakan cepat dan tepat harus segera dilakukan, sebelum diabetes merenggut kaki ibuku.

Tidak ada yang tahu pasti penyebab suatu penyakit. Ada yang mengatakan berasal dari makanan, faktor keturunan dan ada yang bilang faktor pikiran atau stress. Bagaimanapun, penyakit itu sudah menyerang, tidak bisa ditolak, apalagi dicegah. Karena mencegah seharusnya dilakukan sebelum penyakit itu datang. Satu-satunya yang bisa dilakukan sekarang adalah mengobati dan itulah yang sedang kami lakukan.

Aku berusaha membagi waktuku, antara pekerjaan di kantor, mengurus rumah dan merawat ibuku di rumah sakit. Hampir tidak ada waktu istirahat untukku. Setiap malam aku tidur di rumah sakit, paginya langsung ke kantor dan siang hari balik ke rumah untuk membereskan pekerjaan rumah dan memasak. Pagi hari, uda-ku nomor dua dan istrinya bergantian menjaga ibu. Tugas siang hari digantikan oleh bapak dan malam hari menjadi giliranku. Itulah yang kami lakukan dalam lima hari ini secara bergantian. Jangan ditanya, bagaimana lelahnya tubuhku.

Dan hari ini, dia datang menyakitiku dengan kata-katanya. Seakan-akan dia tahu segalanya. Dia yang paling benar dan aku yang bersalah. Tidakkah dia tahu pengorbananku? Aku, anak perempuan satu-satunya, harus membatalkan keinginan untuk kuliah ke luar negeri karena tidak bisa meninggalkan orang tuaku di sini. Selalu terngiang kata-katanya dulu...

"Kau, anak perempuan satu-satunya, tugasmu menjaga orang tua. Tidak mungkin, kakak iparmu nanti yang merawat mamak dan memandikannya. Itu adalah tanggung jawabmu."

Bukankah dunia sudah terbalik? Bukannya aku tidak mau. Itu adalah kebahagiaan terbesarku untuk merawat orang tua sampai nafas terakhirnya, seperti yang sedang kulakukan sekarang. Tapi apa salahnya seorang menantu ikut merawat dan menjaga mertuanya. Bukankah mertua juga orang tuanya. Tidakkah dia egois? Dia meletakkan tanggung jawabnya di pundakku, kemudian dengan lantangnya menghakimiku, untuk sesuatu yang berada diluar kekuasaanku, yaitu jodoh.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang