Part 16 : Andika

370 17 0
                                    

"Rendangnya enak ya Kak, apa resepnya?" tanya Putri sambil menyuapkan rendang buatan Ni Lisa ke mulutnya. Ni Lisa memang pandai memasak apa saja. Rendang ini terasa khas sekali di lidahku, seperti resep turun temurun dari nenek moyang.

"Kakak kurang tahu, Put. Nanti kakak tanyakan sama Ni Lisa. Eh, ngomong-ngomong Andika suka sekali sama rendang, terutama rendang itik khas Bukit Tinggi." Kataku dengan semangat.

"Benarkah? Kok, Kakak tahu kesukaan Bang Dika ... " tanya Putri dengan curiga.

Aku menatap Putri dengan geli. "Iyalah, dulu kami sering pergi bersama, makan-makan di luar. Hmm ... dengan teman-teman yang lain juga," jawabku sambil tertawa. Aku berhasil menggodanya. Ternyata Putri memang jatuh hati dengan Andika.

Tiba-tiba terdengar suara Andika yang baru datang dan berbincang dengan seseorang di pintu masuk kantor. Putri yang menyadarinya langsung berdiri sambil membawa rantang bekal makan siang untuk Andika. Aku tidak mendengar secara jelas apa yang mereka bicarakan. Beberapa menit kemudian Putri kembali datang dan duduk di depan mejaku dengan wajah sedih, seperti tidak berminat lagi melanjutkan makan siangnya yang terputus. Aku menghabiskan suapan terakhir di kotak bekalku, membereskan semua yang ada di karpet dan menghampiri Putri.

"Ada apa, Put? Makannya gak dihabiskan? Apa kata Dika?" Aku bertanya dengan penasaran.

"Gak, Kak. Sudah gak selera. Dia bilang baru saja makan di luar dengan Bang Andi, padahal aku sengaja masak pagi ini untuk dia," jawab Putri sambil menarik nafas panjang.

"Oh, begitu ya ... bagaimana dengan bekalnya? Sampai nanti sore bisa basi, Put." Kataku menatap Putri dengan kasihan.

"Kata Bang Dika, dia mau berikan ke Pak Agus saja." Jawab Putri dengan lemah.

Pak Agus adalah satpam kami yang bertugas menjaga gerbang masuk dan keamanan di radio ini. Aku pun tersenyum sambil menghibur Putri.

"Ya, tidak apa-apa, Put. Itu kan sedekah juga. Siapa tahu nanti didoakan sama Pak Agus biar Putri bisa berjodoh sama Dika." Kataku sambil mengedipkan mata.

"Apaan sih, Kak Dewi ini ..., " Putri pun akhirnya tersenyum dengan tersipu malu sambil melangkah keluar ruanganku. Sayup-sayup terdengar suara Dika dari speaker kecil di ruanganku, dia sedang membuka siarannya di siang hari ini.

Andika Pratama, laki-laki tampan berusia 27 tahun yang sangat baik hati, suka menolong, ramah dan memiliki banyak penggemar. Dia juga salah satu penyiar favorit di radio kami. Suaranya, canda tawanya yang khas dan tentu saja wajahnya, membuat banyak pendengar terutama para wanita muda terpesona. Walaupun begitu, aku tidak pernah melihat Andika menanggapi godaan yang ada di sekelilingnya.

"Aku ingin menyelesaikan kuliah, meraih gelar S2 dan membahagiakan orang tuaku, Kak. Setelah itu, baru memikirkan tentang perempuan dan menikah. Aku juga ingin memberikan yang terbaik kepada istriku kelak," katanya pada suatu sore di kantor kami, dua tahun yang lalu. Aku bertanya karena penasaran, melihat dia tidak pernah menanggapi godaan dari para penggemar. Padahal kalau dia mau, banyak perempuan terutama gadis-gadis ABG yang bersedia menjadi pacarnya. Tetapi Andika terlihat begitu tenang dan menolak mereka secara halus.

Selama dua tahun ini, Andika terlihat sangat sibuk dengan kuliahnya. Pekerjaannya di radio memang pekerjaan paruh waktu, dia bisa datang hanya ketika jam siaran. Selain itu dia juga mengajar paruh waktu di sebuah bimbingan belajar pada malam hari. Sebagai anak laki-laki paling tua di keluarga, Andika memang punya beban yang berat. Diam-diam aku mengagumi Andika Pratama, walau usianya lebih muda, tetapi terlihat begitu dewasa.

AKU BUKAN PERAWAN TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang